Wednesday, December 23, 2015

Sariawan (CERPEN)



Sariawan (CERPEN)

By:Yanz

Enjoy it...

NP: idenya sih mainstream tapi semoga bisa dinikmati dengan mudah, dan ini lebih condong curhatan hidupku sih.. idenya juga dadakan .

-Adam POV-

TIITTTTTTT

Aku terkejut saat mendengar suara klakson penuh emosi dari para pengendara, saat aku mendongak rupanya sudah lampu hijau. Haah... aku melamun di lampu merah lagi, aku gerakkan leherku yang terasa kaku kemudian menyesap kopi yang ada di dasbor mobilku.

Aku uring-uringan, tidak bergairah dan unmood. Mungkin aku berada di titik jenuh memiliki
kehidupan seperti ini, bangun pagi-pagi untuk kerja, pulang di larut malam, tidur dan besoknya kerja lagi. Flat... melelahkan dan menjenuhkan.

Bukankah menjadi pria mapan dan memiliki pacar yang manis adalah impianku dari dulu? Tapi entah kenapa aku mulai kehilangan kebahagiaan. Oh ya, aku memiliki pacar yang biasanya selalu jadi dongkrak mood untukku, tapi semenjak dia kuliah beberapa bulan ini jarak kami jadi jauh.

Mungkin dia kelelahan dengan aktifitasnya, sehingga ketika aku berangkat kerja dia belum bangun sedangkan ketika aku datang dia sudah tertidur. Ah shit! Aku baru menyadari jika sudah dua bulan kami tidak bercinta. Hubungan macam apa ini?

Sesampainya di rumah kami aku langsung masuk ke dalam rumah dengan gesture yang cukup emosi, kepalaku benar-benar sakit karena berbagai tekanan. Aku harap Fahmi kekasihku belum tidur karena Cuma itu satu-satunya hal baik yang aku harapkan bisa datang hari ini.

Senyumku langsung mengembang saat aku melihatnya masih terduduk di depan TV, seolah ada kupu-kupu yang terbang di dadaku. Entah kenapa aku merasa kami seolah pasangan LDR yang baru berkesempatan bertemu setelah sekian lama.

Aku langsung mendekapnya dari belakang sambil tersenyum manja namun yang aku dapatkan justru pekikan kesal, “Aaaagh! Mati kan! Kaka ngapain sih?” tanyanya ketus sambil membanting stik PSnya.

Hal itu sukses membuat moodku semakin hancur, tapi aku menghela nafas panjang dan kembali mengembangkan senyuman palsu dengan harapan dia kembali terpana denganku, tapi sepertinya dia justru mengalihkan pandangannya pada monitor.

“Kangen... love you..” bisikku sambil menggesekkan hidung mancungku kepada sosok imut di depanku ini, tapi dia bersikap kaku tanpa ekspresi.

“Ok ok..” hanya itu jawaban yang aku dapat dari Fahmi?

Aku tetap bersabar. Menghirup aroma shamponya membuatku cukup tenang, aku merapatkan tubuh, melingkarkan tanganku pada pinggangnya sedangkan bibir lembabku mencoba meraih tengkuknya. Tapi dia bersikap seolah ogah-ogahan akan sentuhanku. Ada apa ini? apa dia bosan denganku? Jangan-jangan ada pemuda lain yang lebih perhatian dan sekarang menendang posisiku dari hatinya? Membayangkan semua itu membuat mataku terasa panas.

Astaga.. apa yang aku pikirkan. Fahmi bukan orang yang seperti itu, dia hanya lelah. Aku kembali bergelayut manja dan kini berbaring di pahanya, “Kaka capek dek, pegel.. pijitin dong..” bujukku sambil mengusap tangannya.

Tatapannya sangat serius pada monitor, aku bahkan tidak yakin dia mendengarkan ucapanku. Dadaku bagaikan bom waktu yang sebentar lagi akan meledak namun tetap aku tahan, aku mencoba bangkit di antara lingkaran tangannya yang memegang stik sehingga posisinya seolah memelukku, dia tatap wajahku sekilas seolah tatapannya berkata, ‘Apa-apaan sih..’

Aku mencoba mengecup bibirnya tapi dia membuang muka, “Males...”  desisnya pelan.

Aku tidak membalas ucapannya, aku tarik dagunya dengan paksa tapi dia bersikeras mendorongku. Kesabaranku benar-benar habis, “Kamu pacar macam apa sih! Aku lagi capek minta dilayani, kamu malah asik sendiri, kamu gak mikir apa aku kerja mati-matian kaya sekarang buat siapa? Buat kamu dek! Kamu sudah bosan hah punya pacar sibuk? Gak perhatian? Sudah ada yang lain hah?”

Dia cukup shock akan reaksiku, tanganku sangat gatal ingin menghajarnya tapi aku tetap menahannya, “Kakak ngomong apa sih...” lirihnya pelan sambil mencoba meraih tanganku. Tapi aku tepis tangannya, aku lepaskan dasi dengan gesture marah, aku keluar dari rumah itu sambil membanting pintu kesal.

Terlihat Fahmi mengikutiku, dia menarik ujung kemejaku kemudian memelukku dari belakang, “Kaka mau kemana? Jangan tinggalin aku...”

“Aku mau senang-senang, mencari brondong manis yang bisa melayaniku lebih baik..” ucapku asal, meskipun aku bukan orang yang seperti itu tapi rasanya ada kepuasan tersendiri bisa membuatnya kesal.

Sontak tinjuan keras menghantam wajahku, “Aku gak nyangka kamu orang kaya gitu! Pantas saja kamu jarang pulang...” lirihnya dengan suara menahan tangis, bahunya bergetar hebat karena menahan emosi dan bulir bening itu seolah lepas begitu saja mengaliri pipinya, dia langsung menutup wajahnya dengan telapak tangan kemudian menangis histeris.

Aku merasa bersalah, segala amarahku langsung luntur, yang ada rasa sesaknya penyesalan. Aku mencoba mendekapnya dan kini malah dia yang ngambek. Astaga... cobaan macam apa lagi ini, dengan segala beban yang aku rasakan kini aku harus dihadapi oleh uke yang merajuk?

Aku memejamkan mata sejenak dan menghela nafas berat, “Semua yang kaka ucapin barusan Cuma bohong, kaka Cuma mau bikin adek kesal karena mood kaka sekarang benar-benar buruk jadi ada naluri untuk menularkan kekesalan itu..” bisikku lembut sambil mengusap kepalanya. “Kaka gak sungguh-sungguh, dek... sudah ya ngambeknya.. nanti kaka belikan ice cream...” aku merasa lucu ketika membujuk pemuda 18 tahun seolah membujuk anak kecil 5 tahun.

Perlahan dia membuka jarinya dan memperlihatkan matanya yang sayu, aku benar-benar luluh. Kudekap hangat pemuda mungil itu, rasanya memeluk tubuhnya benar-benar membuatku gemas ingin memeluk lebih erat.

Aku tangkup kedua pipinya yang cukup bulat kemudian aku mengecup kedua kelopak matanya yang terpejam, “Udah jangan nangis.. ih malu-maluin, ganteng-ganteng kok cengeng....”

“Huh..” desahnya pelan sambil memukul dadaku dengan manja, aku terkekeh tapi masih kesal kenapa dia begitu kaku dan hemat sekali dengan kalimatnya.

Lebih menyebalkan lagi dia tetap menolak saat aku mintai ciuman, “Kenapa sih dek? Kaka tuh kangen... kangeeen banget...”

Matanya menatap liar, “Aku lagi sariawan, gak mood ngomong apalagi ciuman.”

Aku tertawa pelan, astaga... aku sudah berprasangka jelek ternyata hanya sebuah sariawan penyebabnya. Lalu aku memasang wajah mengejek, “Jadi gak ada ciuman nih buat kaka malam ini...”

“Gak...” jawabnya singkat.

Aku memasang pose berpikir, “Itu kan kalau di bibir, gimana kalau ciuman yang lain?”

Fahmi memiringkan kepalanya dengan imut, haah benar-benar minta ‘dimakan’ uke satu ini. “Cium dimana?” tanyanya polos.

Aku tersenyum mesum, aku merendahkan tubuh untuk berjongkok di depannya kemudian menarik resleting celananya, “Disini..” desisku pelan.

Wajah Fahmi merah seketika, “DASAAR MESUUUM!!”

END

Tinggalkan komentar temanku yang baik hatii

1 comment: