Bakso Nano-Nano 11
By: yanz
KILAS BALIK: part sebelumnya nathan menerima kenyataan bahwa dirinya gay, berkat pencerahan dari mamanya. Maka dia mulai menjalani keduanya untuk mendapatkan pilihan salah satunya.
-Nathan POV-
By: yanz
KILAS BALIK: part sebelumnya nathan menerima kenyataan bahwa dirinya gay, berkat pencerahan dari mamanya. Maka dia mulai menjalani keduanya untuk mendapatkan pilihan salah satunya.
-Nathan POV-
Karena sudah sore, tak mungkin Dendy di sekolah dan aku tak tau rumahnya maka aku memutuskan menemui Munif terlebih dahulu.
Aku memarkir mobilku di depan cafenya, aku melirik di jendela. Menatap cafe yang dinding dan pintunya dari kaca hingga terlihat kesibukan dari dalam sana, tak ada sosok Munif disana.
Aku menunduk lesu, kemana anak itu? Aku mulai membuka pintu mobil, saat kakiku menyentuh aspal aku sedikit ragu. Dadaku berdebar, apa ya tanggapannya terhadapku untuk kejadian waktu itu? Aku terpaksa meninggalkannya saat bercumbu karena aku shock.
Umm aku memantabkan hati untuk masuk, aku melangkahkan kaki ke dapur, Munif yang tadinya sibuk memasukkan kuah disenggol pelayannya pelan, Munif menatapku saat mendapat aba-aba.
Matanya berbinar, bibirnya ternganga kemudian sedikit tersenyum, "Ahaha.. Hei.. Akhirnya kau memunculkan diri juga.." sapanya dengan suara yang sangat senang.
Aku tersenyum tipis dan langsung memeluknya erat, aku menghirup aromanya yang harum bercampur keringat sehingga sangat sexy dan mencium pipinya sekilas.
"Maaf.." hanya itu yang mampu aku ucapkan, tubuhku bergetar hebat, mataku berkaca-kaca karena tak percaya akhirnya bisa melihatnya kembali. Aku sangat merindukannya.
"Never mind.. Banyak orang disini, ayo ikut aku ke ruanganku.."
Munif merangkulku lembut, aku mengulum senyuman saat merasakan sentuhannya yang membuat jantungku berdenyut berkali-kali lipat karena lama tak menemuinya.
Dia menarikkan bangku untukku dan kami duduk berhadapan dengan meja menjadi penengah, "Well, bagaimana kabarmu selama ini?"
"Lu ngomong seolah gue ninggalin lu tahunan aja.." ucapku sambil memajukan bibirku.
Munif tersenyum, dia meraih tanganku, "Dua ratus tahun bagiku menunggu dua minggu itu.."
Aku tersipu. benar, Aku juga merasakan hal yang sama, rindu yang luar biasa dan meradang. "Lu gak marah Nif, gue tinggalin lu gitu aja waktu itu?"
Munif menggeleng lemah, "Justru aku merasa bersalah sudah menyentuhmu.. Gak seharusnya aku lancang.. Pasti kau shock, dan aku layak dijauhi. Tapi kau memaafkanku kan?"
"Lu gak salah Nif.. Munafik kalau gue bilang gue gak pengen, gue cuma bohongin diri gue sendiri aja.." aku menarik tangan Munif, meletakkannya di pipiku, hangat sekali.
Munif mencubit pipiku keras, "Jangan terlalu menghayati, ini masih terlalu terang untuk horny.."
Aku tertawa, "Lu ini.. Ah.."
Munif mengacak rambutku gemas. Aku merasa lebih akrab dengannya sekarang dibanding pertemuan pertama kami yang ribut-ributan dan dia sangat dingin.
Sekarang, melihat senyum indahnya sudah menjadi makanan sehari-hari.
"Wah gue liat cafe lu makin hari makin laris aja.. Pake pelet apa lu?"
"Kampret ni anak haha.. Gak level pelet-peletan.. Menu baru aja nih nambah, ide dari anak-anak. Jadinya cafe ini lebih beragam, nano-nano special.."
"Wah ajarin dong masak.."
"Gayamu masak, rebus air aja gosong haha.." aku mengerucutkan bibir kesal saat Munif mengejekku. Dasar, menyebalkan.
"Nah itulah hebatnya gue.. Eniwei kok lu tau gue masak air aja gosong? Wah parah, jangan-jangan lu mata-matain gue? Atau lu punya indra ke enam.. No! Jangan-jangan gue bugil juga lu hintip.."
"Heleh.. Apaan, body standar gitu aja dipelitin.. Sini aku telanjangin sekalian.." Munif berdiri dari kursinya dan mengejarku.
Aku tersentak saat tangannya meraih pinggangku, aku berlari-lari, melompat kesana-kemari.. Berasa jiwa kanak-kanakku kembali.
Hingga akhirnya Munif memojokkanku di dinding, dia mengandangku dengan lengannya, wajahnya mendekat..
"Wait.. Gue mau ajak lu ke suatu tempat?" ucapku sambil menahan dadanya.
"Hm? Okay.." Munif pun menurut saat kutarik tangannya.
-----
Aku dan Munif terdiam sejenak, aku menarik nafas dalam-dalam, aku berkeringat gugup jika berdua begini.
Munif mengusap tanganku yang memegang setir, kami saling tatap dan tersenyum canggung, "Ehem.. Nathan, soal waktu.. Umm aku mencumbumu, apa kau marah padaku?" tanya Munif hati-hati.
Aku terdiam sejenak, menarik nafas berat, "Gak sih.."
"Lalu.. Kenapa kau meninggalkanku?"
"Gue menikmatinya Nif.. Tapi gue gak terima kalau gue gay.. Walaupun kenyataannya gue gay dan gue lagi nyoba nerima kenyataan itu."
"Ah.. Begitu rupanya, pasti sangat rumit ya buatmu.."
"Lu sendiri Nif, kok bisa lu suka cowok? Siapa cowok pertama lu kalau boleh gue tau.."
Munif menunduk dalam, "Ini aib yang terlalu besar Than.. Aku harap bisa kau jaga sendiri, well.. Aku berhubungan dengan adik kandungku sendiri."
"Hah? Incest.. Ehem.. Gimana bisa?"
"Ntahlah Than, naluri itu muncul dengan sendirinya.. Semenjak kami mulai beranjak remaja dan orang tua kami sudah tak ada.. Kami tak sekedar kakak adik kandung tapi seperti sepasang kekasih.. Kau sendiri punya pacar?"
"Gak Nif.. Gue juga baru belajar jatuh cinta.. Gue bahkan gak pernah pacaran sama cewek."
"Jadi kamu gak pernah having sex?"
"Umm gimana ya, gak pernah masuk-masukan sih.. Tapi gue pernah melakukan hubungan intim.."
"Selain denganku?" tanya Munif menatap wajahku dalam-dalam. Aku terdiam, "Santai saja Than.. Aku butuh kejujuranmu. Dan itu tak akan merubah perasaanku."
"Ya.. Dengan orang lain.."
"Kenapa gak ML?"
"Umm entahlah.. Gue rasa perlu cinta untuk bercinta..."
"Haha.. Naif.. Memang kau tak mencintainya?"
"Ehem.. Gue rasa gue menaruh hati dengannya. Tapi gue gak yakin apa itu cinta. Gue perlu waktu buat pertimbangin itu semua. Karena... Lu juga.." aku menatap Munif dalam-dalam, dia tersenyum dan mengusap pipiku, dia mengangguk dengan senyum sabar seolah mengerti kondisi. "Ehmm.. Lu sama adik lu sendiri pernah ML gak?"
"Pernah.."
Jleb.. Entah kenapa aku merasa sedikit tak rela akan jawaban Munif.
"Seberapa sering?" tanyaku.
"Setiap minggu, sometime setiap hari.."
"Gila.. Libido lu tinggi amat Nif?" tanyaku shock.
"Kau belum tau aku yang sebenarnya kan.." desis Munif sambil menjilat kupingku. Aku menggigit bibirku pelan, shit.. Dia sangat menggoda.
"Oh.. Mana adik lu sekarang?"
"Ntahlah.. Dia pergi mengejar ambisinya.. Aku sudah berusaha melupakannya sebagai cinta walau aku tetap menganggapnya adik. Dia sudah besar, pasti bisa lewatin itu.."
Kami terdiam sejenak, aku baru tau kalau ada rahasia lain dari seorang Munif. Apakah adiknya itu masih ada di hatinya? Hmm..
Kami mulai memasuki kawasan jalan yang sepi, sebuah jembatan panjang yang disekelilingnya terlihat hanya tumbuhan tanpa ada perumahan. Aku niatnya mau mengajaknya ke bukit untuk melihat indahnya kota dan bintang di ketinggian.
"Oh ya.. Adik lu pasti yang ada di foto kan? Kayanya gue kenal deh.. Emang siapa namanya?"
"Oh iya.. Dia adikku, seumuran kamu kayaknya.. Namanya Den... Awas Nathan ada monyet lewaat!!!" teriak Munif sambil menunjuk jalan.
Aku yang tadinya menatap wajah Munif langsung melihat ke depan, aku panik dan tanpa sengaja membanting setir ke kiri..
BRUUUKKK!!!
Mobilku menghantam pembatas jembatan, membuat hantaman yang cukup keras andai tanpa sabuk pengaman mungkin wajahku sudah hancur terhantam dasbor mobil, tapi kaca-kaca pecah karena kami terlengser ke jurang yang aku tak tau berapa kedalamannya.. Kayu-kayu ranting menghantam kacanya hingga pecahannya mengenai kami, hentakan-hentakan keras membuat tubuhku ngilu.
Mobilku terus meluncur kencang tanpa henti walau aku menginjak rem, aku panik, aku pasrah. Kugenggam erat tangan Munif.
"Kita bakal mati Nif.."
"Jangan bilang gitu!!!"
BRUSSSHH!!!
Aku tersengal-sengal, mobilnya masuk ke dalam air gak jadi meledak seperti dalam hayalanku rupanya kedalaman jurang itu hanya sekitar tiga meter, "Kita selamat Nif kita selamat!" teriakku girang.
"Jangan seneng dulu, gimana caranya kita keluar sebelum mobilnya tenggelam. Air mulai masuk nih."
Aku menatap sekitar, seperti sungai kecil. Cahaya bulan cukup terang sehingga terlihat dipinggir-pinggirnya ada hutan.
"Lu bisa berenang?"
"Bisa!"
"Ok.. Kita buka pintunya bersamaan ketika hitungan ke tiga, kemudian kita berenang keluar.."
"Sipp!"
Kami memegang pintu masing-masing, setelah mengangguk tanda setuju, aku langsung menghitung, "Satu.. Dua.. Tiga!"
Brusshh..
Air deras masuk ke dalam mobil, membuka pintunya tak semudah bayangan, justru mobil ini semakin tenggelam sedangkan pintu sangat berat di dorong. Aku mendorong kuat-kuat walau wajahku mulai tenggelam dan yeah.. Aku keluar, dengan cepat aku berenang naik.
"Huaaah.. Haah.. Haah.. Nif? Munif?!!" teriakku dengan nafas tersengal setelah keluar dari air.
Aku yang panik menyibak air kelabakan, mana dia? Aku kembali menyelam, kabur memang pemandangan di dalam jadi aku hanya bisa meraba.. Mobil mulai tenggelam dan semakin dalam, aku gak bisa mengejarnya karena nafasku sudah habis.
Aku naik lagi untuk mengambil nafas, aku tersengal-sengal.. Nyaris menangis namun ada teriakan, "Nathan! Kupikir kau tenggelam!"
Suara itu langsung membuatku semringah, "Aaah.. Gue juga panik gila.. Lu gak papa kan?" aku meraba wajah Munif ada beberapa serpihan kaca menempel aku lepasi kemudian tersenyum lebar.
"Aku gak papa, ayo ke daratan.. Airnya sangat dingin!"
Aku hanya mengangguk, kugenggam erat tangannya hingga kami berenang ke tepi.
Aku memeluknya erat dengan gemas, "Gue gak percaya kita selamat.." kukecup pipinya gemas.
Munif mengusap kepalaku dan turun ke leherku, "Tapi jangan lega dulu.. Suhunya sangat dingin.. Kita bisa saja mati kedinginan.."
Aku bergidik baru menyadari situasi, kadang hal simple pun bisa membuat mati. Kaya cuaca sekarang.
Aku meraba hpku, sial.. Mati. Harusnya aku beli sony experia yang anti air itu. Gak kepikiran akan kondisi kaya sekarang. Terlihat Munif juga menepuk-nepuk HPnya kemudian menggeleng dan melempar hpnya, "Gak ada gunanya.. Umm.. Nathan, buka bajumu!"
"Hah? Buat apa? Engh.. Masa disaat genting gini sih Nif.. Gue gu-gue gak siap.."
"Mikir apa sih kamu? Aku cuma mau kita lepasin pakaian supaya kadar airnya tak meresap ke kulit. Ayo buka.. Nih aku buka juga.."
Terlihat Munif melepas baju dan celananya, hanya menyisakan CD, dia memeras pakaiannya dan menggantung di ranting. Aku juga ikutin langkah dia.. Yaa walaupun masih sangat dingin.
"Dingin banget brr.."
"Sentuh dadaku.." desis Munif. Nih anak kenapa lagi sih? Mukaku langsung panas seketika, "jangan mikirin yang aneh-aneh lah.. Hangat gak?"
Aku menyentuh kulitnya, "I-iya.. Hangat. Kenapa emang?" Munif juga meraba tubuhku.
"Mari berpelukan dan berbagi kehangatan, zaman dulu saat kain itu langka, manusia memanfaatkan kehangatan dari suhu tubuh pasangannya." ucap Munif. Aku memerah.
Gleg..
Berbagi kehangatan bersama pasangannya? Dalem banget.
Aku merapatkan tubuh dengan Munif dan saling bergesekan hingga semakin hangat, "Moment ini mengingatkanku akan suatu kejadian.." kami berbaring di tanah yang dilapisi dedaunan dan berbantal kayu lapuk.
"Kejadian apa Nif?"
"Banjir bandang lima tahun lalu, saat itu aku dan keluargaku berlibur ke rumah tante di luar kota, tanpa terduga suatu bendungan pecah dan terjadi serangan air yang begitu deras. Ayah memelukku sangat erat agar tak hanyut, sedangkan ibu memeluk adikku. Mereka berpegangan ke ranting demi ranting dan meletakkan tubuh kami ke suatu jembatan.. Setelah itu mereka tak mampu menahan derasnya air terpaksa hanyut, mereka hilang... Aku hanya bisa meraung-raung saat itu. Tubuhku lemah, tapi setelah beberapa saat aku mulai belajar bertahan hidup bersama adikku. Dan kami pernah saling menghangatkan juga disaat malam hari dengan cara seperti sekarang.."
Aku tertegun mendengar ceritanya, "Sangat dramatis.. Kau kakak yang luar biasa.. Picik sekali adikmu yang meninggalkanmu hanya karena harta itu."
"Itu jalan dia Than, kelak dia akan pulang jua."
"Hah pu-pulang? Umm.. Berarti kalian kembali menjalin cinta.." lirihku lesu.
Munif meraih tanganku, wajahnya tetap menatap bulan bulan, aku bisa rasakan dia dia mengecup tanganku, "Masa lalu sudah lewat, tapi aku tetap menganggapnya seorang adik. Sekarang, hatiku sudah ada yang mengisi.." desisnya lembut.. Diletakkannya tanganku di dada bidangnya.
Aku membeku, terdiam dalam harap dan dadaku bergemuruh kencang. Aku menenggelamkan wajahku di lehernya, tangannya mengusap punggungku hingga kepalaku. Kami terlelap dalam kehangatan.
BERSAMBUNG
Gimana nih sweet moment.a? Udah cukup bikin sakit gigi or diabetes belum?
bikin laperr
ReplyDelete