Bakso Nano-Nano 18
by: Yanz
-Dendy POV-
Aku sempat senang beberapa hari lalu, semenjak kejadian bersama Heru di taman waktu itu Nathan melunak. Aku pikir hatinya sudah memafkanku, tapi kegilaannya masih belum berakhir. Im still his slave.
by: Yanz
-Dendy POV-
Aku sempat senang beberapa hari lalu, semenjak kejadian bersama Heru di taman waktu itu Nathan melunak. Aku pikir hatinya sudah memafkanku, tapi kegilaannya masih belum berakhir. Im still his slave.
Kak Munif sering meneleponku, memintaku pulang tapi aku belum berani pulang karena memar-memar di tubuhku belum pudar seutuhnya, walaupun di pipi, leher dan tangan sudah tak terlalu nampak tapi di bagian dalam cukup parah dan kak Munif pasti melihatnya jika aku berganti pakaian. Aku tak mau membuat hubungannya dengan Nathan makin retak. Kak munif pasti marah besar kalau tau.
Nathan yang sekarang mungkin sudah tak melakukan kekerasan lagi, tapi lebih menekan mentalku. Di sekolah dia centil menggoda cewek-cewek, di rumah dia telponan dengan suara keras, sangat mesra dan kadang erotis. "Emm apa sayang? Mau cium? Emuuaah.. Ahaha.. Jangaan aaah.. Kamu nakal ya minta yang itu, nanti aku ketagihan gimana hayo?" Hatiku benar-benar panas. Tiap kali dia mau teleponan aku berusaha mau pamit dengan berbagai alasan tapi dia melarangku. Dia bahkan memeluk leherku dari belakang, aku terpaksa manahan sakit hatiku.
Apalagi sekarang, aku duduk di sebuah tempat karaoke di hadapan Nathan yang duduk dengan cewek-cewek sexy di sampingnya. Mereka adalah Nita dan Laras, cewek-cwek populer di sekolah yang murahan.
Sedangkan Bagas dan Anto asik bernyanyi duet dengan hebohnya. Semua terlihat sibuk dengan urusan masing-masing. Hanya aku yang duduk kaku seperti orang idiot, menatap orang yang aku cintai bermesraan dengan orang lain.
Aku meremas kursi, bentuknya melengkung seperti hurup U, aku dan Nathan duduk disisi-sisi kursi itu bersebrangan.
Aku mengambil keripik agar membuatku lebih rileks. Aku menghela nafas panjang, ingin rasanya aku pergi tapi sebelum berangkat ke tempat karaoke ini aku sudah membuat perjanjian dengan Nathan bahwa aku akan terus memperhatikannya. Itu artinya aku tak boleh kabur dan terus memelototi aksi erotisnya.
"Hei Dendy! Ayo kita nyanyi! Jangan hanya diam... Begadang jangan begadaang~ kalau tiada artinyaa~ begadang boleh saja ha ahahaa asal ada perlunya!" nyanyi Bagas dengan semangat, dia merangkulku dan mengajak agar aku bergoyang-goyang bersama mereka. Aku tertawa-tawa kecil apalagi saat Anto mempraktekkan goyang itik si zaskia gotik biasanya.
Aku juga ikut memegang mike, menyanyi tak keruan walaupun dengan lirik salah-salah... Secara aku bukan dangduter seperti mereka. Huu ngakunya macho, anggota genk motor, nyanyi dangdut.. "Lagunya copo... Gantii..." ucapku sambil memamerkan deretan gigiku.
"Yaudah.. Lu pilih, maunya nyanyi lagu apa?"
Ada satu lagu yang muncul dalam otakku.. Lagu boys like girl feat taylor swift. Two better than one.
"Kuingat yang kau pakai di hari pertama..." aku mengalunkan suara halusku, menyanyikan lagu kesukaanku dengan lirik Indonesia agar Nathan bisa lebih memahami isi hatiku.
"Kau datang dalam hidupku dan kupikir hei.. Kau tau ini bisa jadi seswatu.. Karna apapun yang kau lakukan dan katakan.. Kau tau semuanya membuatku bahagia.. Dan skarang aku tak miliki apapun.." aku menggenggam mike dengan tangan bergetar karena Nathan melirikku dengan pandangan yang aneh. Dia terus memandangku.
"Jadi mungkin benaar.. Aah aah.. Bahwa ku tak bisa hidup tanpamu.. Mungkin dua.. Aa.. A.. Lebih baik dari satu.. Tapi ada banyak waktu.. Tuk mencari tau slama hidupku.. Dan kau tlah membuatku gelisah.. Kurasa dua... Lebih baik dari satu.."
Bagas dan Anto menepuk tangan sambil menimpukiku dengan bantal, "Cowok romantis prikiteww.." ejek Anto yang mengacak-acak rambutku. Aku tertawa-tawa.
"Pasti buat yang itu ya?" ucap Bagas mukanya mendekat ke arahku, tapi mengisyarat ke arah Nathan. Aku melirik Nathan.
Terlihat Nathan mengambil keripik, meletakkan ujungnya di bibirnya dan memberikan aba-aba agar laras mengambil juga sisi kripik itu, mereka memakan kripik itu sampai mereka berciuman. Mataku langsung basah. Apalagi saat Nathan menoleh ke arah Nita yang menciumi leher Nathan, dia rela payu daranya diraba oleh Nathan, dadaku sesak.. Rasanya oksigen di tempat ini menipis.
"Eh Than, liat deh.. Si homo itu nangis masa.." ucap Nita sambil menatapku dengan senyum mengejek. Aku menyeka air mataku dengan bahu.
"Ngapain sih Than dia harus ikutan? Kan risih diliatin gitu.. Dia masih suka lo ya?" tanya Laras.
"Cuekin aja ya, bidadari-bidadariku. Dia gak penting, biarkan saja dia rasakan live show kita haha.." Nathan menciumi mereka bergantian. Aku duduk kembali, Aku meremas kursi geregetan saat kulihat mereka memasukkan tangan ke baju Nathan. Dan wajahku sudah tak keruan lagi, tangisku pecah sejadi-jadinya saat Laras meraba selangkangan Nathan.
BUUKKK!!! NGIIINGG..
Suara mike yang Bagas hempas mengejutkan kami semua, "Menjijikan, Nathan! Cari kamar gih.." bentaknya.
"Bukan urusan lu!!"
Anto memicingkan mata, "Kita kan kesepakatannya kesini buat nyanyi-nyanyi bukan buat mesuman. Ngapain sih lu ngundang cewek-cewek murahan gini!!" teriak Anto.
"Eh jaga mulut lo ya!" bentak Nita.
"Lo emang murahan kan? Gratisan juga lu rela kan kalau sama Nathan.. Udah ah.. Ayo Gas, Dy.. Kita pergi.. Ini bukan acara kita." ucap Anto kesal.
Bagas menyelimutiku dengan jaketnya dan merangkulku keluar dari ruangan itu.
Aku menarik nafas berkali-kali hingga oksigen bisa terasa normal, mataku mulai mengering, malu sekali rasanya harus menangis seperti sekarang di depan banyak orang.
Sampai di parkiran Anto mendapat telepon, "Halo? Umm ya.. Ntar aku datang, ma."
"Kenapa, Nto?" tanya Bagas.
"Ini nyokap nyuruh gue pulang, katanya antarin lemari ke komplek mawar.." ucap Anto. setauku dari ceritanya beberapa saat lalu, orang tuanya punya bisnis toko mable.
"Oh gitu.. Sipp.. Hati-hati bro.."
"Lu gapapa kan anterin Dendy sendiri?" tanya Anto.
"Gapapa, seneng malah gue.." ucapnya sambil mengedipkan mata nakal.
"Hoi.. Hati-hati ntar yang punya ngamuk.."
"Halah.. Yang punya aja udah gak perduli kayanya. Iya kan sayang?" tanya Bagas sambil melirikku. Aku menunduk saja.
Anto pun melajukan motornya. Terlihat Bagas berdiri sambil memasukkan tangan di sakunya, dia adalah cowok berkulit kuning, wajah tampan khas cowok Bandung, dengan anting dan kalung hitam. Sekilas dia mirip Rizky Nazar pemain sinetron pesantren rock and roll itu.
Bagas tersenyum nakal, membuatku jaga jarak. Aku sedikit ngeri jika mengingat dia sudah dua kali mencoba memperkosaku walaupun hubungan kami yang sekarang lebih baik.
"Kita gak langsung pulang kan?" tanyanya sambil menarik daguku.
Aku menatapnya, tapi aku hanya diam. Aku bingung mau kemana. Bagas mengusap kepalaku dan tersenyum. Dia mulai naik ke atas motornya, setelah menyala dia melambai ke arahku. "Ayo naik.. Gue ajak lu seneng-seneng.."
"Jangan yang aneh-aneh.." ucapku risih, aku masih terdiam di ujung motornya dengan tatapan khawatir.
Bagas tersenyum, turun dari motor dan merangkulku, "Sayang, santai dong.. Yaudah kalau mau pulang gue antar.. Dimana rumah lu?"
Aku menggeleng, "Aku belum bisa pulang.. Kakak pasti marah kalau melihat lukaku."
"Gue gak mungkin biarin lu ke rumah Nathan, yaudah ke rumah gue aja. Mau? Ada kakak gue tuh.."
Tak ada pilihan lain, terpaksa aku ikut dia dulu sampai memarku pudar. Sepanjang jalan aku hanya diam walau diajak mengobrol, aku juga cuma memegang ujung jaket di pinggang Bagas walau dia sering nakal memainkan rem gas, rem gas agar aku memeluknya atau dadaku terbentur dengan bahunya, trik yang biasanya cwok gunakan untuk merasakan dekaapn cewek di belakangnya. Sakit juga pinggangku menahan diri untuk tak memeluknya karena ini motor nungging. Terlihat dari gesturenya Bagas masih menaruh hati denganku, dia mesum.
Berkali-kali aku memukul bahunya saat dia nakal, tapi dia malah tertawa dan menatapku dari cermin spion yang sengaja dia arahkan ke wajahku.
Sampai di rumahnya aku cukup kagum, masuk ke dalam pagar ada lorong dari tanaman yang cukup jauh untuk mencapai rumah, rumah terbuat dari kayu ulin, sebagian dinding dari kaca, ada bunga yang merayap di rumah, halaman yang asri penuh dengan tanaman, rumah Bagas berada di ujung kota yang seperti hutan, perumahan renggang dan sekitarnya pepohonan saja dan rumah tetangga yang sederhana, ada banyak tanah kosong. "Kukira kau tinggal di tengah kota dengan kehidupan gemerlapan.."
"Ya.. Sekali-kali clubing lah buat nyari gemerlapan, tapi buat ketenangan yang indah itu dapat dari rumah ini, sengaja didisign sesuai kemauan mama, dia kalau capek kerja yaa kesini.."
"Mamamu mana?" tanyaku.
"Lagi di Hongkong, ada bisnis katanya.."
"Kalau papamu?"
"Udah nikah lagi.. Gak tau gimana kabarnya sekarang.. Oh ya mungkin kakakku ada di dalam. Biasanya dia main musik di studionya.." Bagas merangkulku akrab dan mengarahkanku ke ruangan yang dia bilang studio. Rupanya rumah ini cukup luas, kulihat di dalam ada kolam ikan juga, dari balik kaca luar terlihat ayunan dengan banyak bunga disekitarnya, ada beberapa kamar, ruangan ini hanya berwarna pernis hitam karena kayu ulin juga hitam. Tak ada lukisan seperti rumah orang kaya kebanyakan, hanya ada kayu yang terukir dan begitu masuk ruangan utama aku melihat ada foto besar keluarga dengan dua cowok kecil dan suami istri. Pasti keluarga Bagas.
Bagas mulai membuka sebuah pintu, dan benar saja terdengar suara bising yang luar biasa dari dalam. Seorang cowok dua puluh tahunan sedang asik bermain drum gila-gilaan.
"Erik! Woi berhenti dulu.. Erikkk!!!" teriak Bagas beberapa kali hingga akhirnya yang dipanggil Erik itu ngeeh.
Dia menatap kami, begitu melihatku langsung tersenyum lebar. Dengan cepat dia berlari.
"Temen lu? Tumben mulus.. Biasanya juga yang awut-awutan.." ucap Erik sambil mengangkat daguku.
Bagas menggeplak tangan Erik, "Dia special.."
"Asek dah bahasanya.. Pinjemin gue dong.. Kayanya enak nih anak diajak main.."
"Gak! Ah.. Gue mau kenalin dia doang, namanya Dendy.."
Aku mencoba mengulurkan tangan dengan senyum sebisanya, "Dendy.."
Erik menyambut tanganku, tersenyum nakal dan lama sekali menggenggam tanganku. Damn, he is gay.
"Gue Erik, kakaknya Bagas yang jauh lebih ganteng dan keren dari pada Bagas, anak band dan manager di hotel."
Aku mundur dan berdiri di belakang Bagas, seolah minta pertolongan.
"Apaan sih lu promo segala, kaya mau nyari calon istri aja. Dia gak tertarik sama profesi dan kemampuan lu.. Week! Udah gih balik lu!" Bagas yang mengerti langsung menyuruh kakaknya buat lanjut.
"Adek bawel, gue cipok lagi lu!" ancam Erik.
"Najiss!!" teriak Bagas menjulurkan lidah.
"Rame banget sih berantem gitu sama sodara sendiri.." kataku.
"Udah biasa.. Gak ada hari tanpa berantem kami sih.. Lu punya sodara?"
"Punya, tapi selalu rukun.. Sekali brantem pasti langsung perang dingin, aku bakal ngambek dan diam seribu bahasa."
"Dasar ngambekan.." ucap Bagas sambil memencet hidungku. kami ke kamarnya. Aku shock saat melihat kamar Bagas, seperti kapal pecah. Seperti kamar cowok kebanyakan dan Bagas gelabakan memunguti celana dalamnya yang berserakan dan tersenyum canggung.
"Sorry hehe.."
"Gak ada pembantu? Kamar cowok sejati ..." ucapku mencibir.
"Gak ada.. Kami dari kecil diajarin mandiri walau tanpa ortu, kebetulan gue pemalas hehe.. Makan aja gue mending beli.."
"Nanti malam aku saja yang masak.." ucapku berusaha menawarkan bantuan semampuku.
"Asikk! Emang lu bisa masak? Masak apa? Gue beli bahannya entar.. Di dekat sini ada pasar tradisional."
"Wah kamu sering ke pasar?"
"Lumayan.. Deket ini, ada jualan berbagai kudapan kecil biasanya mah.. Gue suka ngeborong kue biasanya.. Murah banget sih. Tapi kalau nyokap tau, bakal ngamuk. Songongnya keluar, low quality lah, jorok lah.. I don't care.. Yang penting enak~" Bagas memasang wajah konyol keenakan sambil menarikan jempolnya.
Aku tertawa-tawa kecil melihat tingkah konyolnya, "Kamu itu ya Gas.. Uh.."
"Apa?" tanya Bagas sambil mendekatkan wajahnya denganku. Aku langsung mundur.
"Kamu itu konyol Bagas!" ucapku sambil menggeplak wajahnya pelan karena dia terus mendekat seolah ingin menciumku.
Bagas terbahak, "Ahaha.. Maaf becanda, hanya menggodamu.. Sudahlah.. Jangan takut begitu.." Bagas mengacak-acak rambutku sampai mataku terpejam. Aku tersenyum tipis setelahnya.
Di kamar Bagas tak terjadi hal aneh seperti dulu, walau keliatannya dia bernafsu denganku tapi dia berusaha mengotrol diri sekuat mungkin.
Kami hanya main PS, mengobrol atau gak nonton koleksi DVD yang dia beli tapi belum sempat ditonton. Ada banyak film terbaru, Bagas menutup gorden kaca besar dan menyalakan tv besarnya hingga seperti berada di bioskop, lengkap dengan popcorn dan soft drink.
Sesekali dia mencari kesempatan untuk memelukku tapi aku lepaskan. "Apaan sih Gas... Gerah!" protesku.
"Pilemnya syeremm.." dia akting dengan lebaynya. Aku hanya tertawa. Sedangkan Dia masih saja tersenyum tengil meskipun kutolak.
Kulihat dia masih usaha buat dapetin aku walaupun caranya gak sekasar dulu. Bagas menatapku sangat lekat, aku yang mempunyai naluri kepada cowok tentu saja sedikit salting. Rasanya seperti orang normal yang berhadapan dengan lawan jenis, walaupun tak cinta tetap saja ada rasa gugup.
Malamnya aku memasak bahan-bahan yang kami beli di pasar tadi. Gila sesak sekali!! Belanja yang penuh perjuangan, apalagi ibu-ibu cukup heboh melihat ada dua cowok kece masuk pasar. Mereka tambah heboh. Well, jadilah spageti, pizza, udang tumis pedas dan ayam bakar.
"Gila!! Enak banget, masakan master chef nih!!" ucap Kak Erik sambil menataku nakal.
"Kaka terlalu memuji, yaa bakat masak aku sama kakakku dapat dari ortu yang keduanya memang suka masak."
"Sering-sering deh Dendy kesini!! Bakal sehat kami berdua.. Ya gak Rik?" tanya Bagas.
"Setuju banget.. Apalagi chef-nya semanis ini.." Erik mengecup punggung tanganku tapi langsung digeplak Bagas.
Aku hanya tersenyum manis sedangkan Erik yang gemas mencubiti pipiku dengan bringas. Aku tertawa-tawa kemudian.
Selesai makan Bagas katanya mau membawaku kesuatu tempat special, mataku ditutupnya dengan dua tangannya. Aku berjalan perlahan, merasakan pijakan yang mulai tak rata aku sangat berhati-hati.
"Gas.. Buka dong.. Gak enak tau gelap, aku gak bakal kabur janji deh.."
"Sssstt ini rahasia.. Lu bisa liat nanti. Sabar ok?" aku bisa merasakan Bagas mencium rambutku dari belakang.
Bagas pun membuka mataku dan melingkarkan tangannya di pinggangku, "Tada!"
Aku terdiam dengan bibir terbuka, ini menakjubkan... ada banyak kunang-kunang!! Aku tak percaya masih bisa melihat kunang-kunang zaman sekarang.
Ditambah lagi ada banyak bunga di sekitar Bagas mengarahkanku ke sebuah bangku panjang, kami duduk di sana bercengrama, saling bercerita sehingga saling mengenal lebih mendalam. Bagas pun ternyata manusia biasa yang memiliki kehidupan yang kadang pahit manis.
"Yaah.. Berat juga ya jadi orang kaya kalau harus kehilangan kasih sayang. Apalagi dengar bapakmu yang lupa diri setelah kaya itu.. Aku miris, membuatku takut." ucapku sambil menepuk bahu Bagas.
"Gitu lah Dy, dulu waktu masih SD hidup sederhana di rumah kecil yang hangat dan berkeluarga itu menyenangkan sekali.. Masa yang tak terlupakan.." Bagas menggenggam tanganku dengan kedua tangannya. Kami mendongak sejenak menatap kunang-kunang yang ramai bermain di atas kami.
"Indah ya, lu suka?" tanya Bagas.
"Iya.. Bagus banget.. Tempat tinggalmu sangat strategis.. Tamannya saja ada banyak kunang-kunang.."
"Ya.. Asal kami selalu pasang cahaya redup aja dan menjaga lingkungan, gak bakal mereka pergi.. Daerah ini masih cukup steril lah dari asap-asapan.. Pohon ada dimana-mana.."
"Ngomong-ngomong soal pohon, kamu gak takut ada setannya? Pohon itu ada penunggunya loh.."
"Ih Dy.. Lu ngerusak suasana romantis aja.." ucap Bagas bergidik ketakutan.
"Hahaha.. Penakut!!" aku mengobok-obok wajahnya tapi dia menarik tanganku, wajah kami mendekat.
"Dendy.." desisnya dengan suara serak.
Aku terdiam, aku menelan air liur menatap bibir ranum itu. Bagas juga sepertinya bukan perokok.. Dia menarik daguku, sedikit lagi bibir kami akan bertemu.
Tapi mendadak banyakan Nathan muncul, "Oh tidak.. Nathan.." desisku pelan. Bagas langsung memperbaiki posisi duduknya dan berdehem.
"Kenapa Nathan?" tanya Bagas dengan nada tak senang.
"Aku mencintainya.. Maaf Bagas.." lirihku penuh sesal karena menolak ciumannya.
"Oh.. Gue bisa apa kalau hati lu sudah mantab di dia.. Tapi gue tetap nyatain rasa suka gue ke lu Dendy, lebih-lebih saat gue kenal pribadi lu.. Gue makin suka sama lu. Walaupun awalnya gue rada gedek lu murahan banget sama Nathan, tapi melihat penolakan lu barusan.. Lu orang yang berkomitmen.. Gue makin suka sama lu.."
Aku tersenyum mendengar pernyataannya, tapi aku hanya diam.
BERSAMBUNG
No comments:
Post a Comment