Bakso Nano-Nano 16
By: Yanz
-Dendy POV-
Aku mengusap wajah Nathan yang lembut. Dia manis sekali saat tertidur, terlihat seperti bocah tak berdosa. Aku mengecup lembut pipinya.
By: Yanz
-Dendy POV-
Aku mengusap wajah Nathan yang lembut. Dia manis sekali saat tertidur, terlihat seperti bocah tak berdosa. Aku mengecup lembut pipinya.
Aku memutuskan menginap di rumah Nathan kemarin dan dia pun tak memperdulikan keberadaanku walaupun aku harus merasakan dinginnya lantai keramik di malam hari tanpa bantal maupun selimut.
Nathan masih sangat dingin kepadaku, tapi aku tak menyerah. Aku terus berada di sisinya.
Jam menunjukkan pukul 6 pagi tapi aku tak membangunkannya dulu, walaupun aku sudah mengenakan seragam lengkap. Saat aku keluar kamar, aku disapa ortu Nathan yang ada di meja makan.
"Nak Dendy, ayo sarapan bareng.." ucap Tante Siska yang sudah cukup akrab denganku. Sebelumnya juga aku sering mampir disini dan bertemu mereka, saling berkenalan dan bercengrama. Mereka orang yang luar biasa.
Aku menarik kursi untuk duduk, "Nathan masih tidur, Om tante.." ucapku lembut.
Mereka tersenyum, "Oh ya gapapa, tapi nanti habis sarapan bangunkan ya.." ucap Tante Siska sambil menyendokkan nasi dan telur goreng ke piringku.
"Oh ya Nak Dendy, Nathan ada masalah? Kok dua hari belakangan dia kembali uring-uringan?" tanya Om Franz.
Aku tersenyum, "Oh itu om, kami lagi berantem tapi nanti juga baikan. Makanya aku nginap disini buat bujukin dia. Gak masalah kan om, tante?"
"Gak masalah nak, kami malah seneng Nathan ada yang nemenin. Biasanya nak Munif yang sering main kesini, tapi sekarang dia sibuk dengan bisnis cafe-nya jadi jarang main.. Haha ngambek-ngambekan dasar anak muda.. Sabar ya Nak Dendy, Nathan anaknya keras, susah bujuknya tapi jangan menyerah!" ucap Om Franz.
"Ah kak Munif juga sering main?"
"Iya nak, dia sering nasehatin Nathan tuh kalau lagi bandel.. Makanya bandelnya hilang.. Walau kadang kumat.. Memang kamu kenal Nak Munif?" ucap Tante Siska sambil meminum jusnya.
"Ah.. Kak Munif itu kakak kandung saya.."
"Benar kah? Kok gak pernah keliatan bareng nak Munif?" tanya Om Franz.
"Aku baru bertemu kembali dengan kakak, Om.. Kemarin-kemarin aku tinggal sama tante.."
"Oalah.. Pantes aja sama gantengnya hehe.. Kalian itu kakak adek mungkin banyak kesamaan yang bikin Nathan betah, Nathan jadi ceria kalau ada kalian tapi kalau lagi awut-awutan gitu pasti berantem.. Maklumin saja ya dia memang labil.. Moody anaknya.." ucap Tante Siska.
"Gapapa Tante, aku ngerti dia kok.."
"Beneran, jaga Nathan ya.." ucap Om Franz sambil mengusap kepalaku.
Aku tersenyum semangat, seolah dapat restu dari calon mertua saja, "Aku pasti jaga Nathan!"
------
Saat aku membuka pintu, kulihat Nathan sedang duduk di kasurnya. Sudah berpakaian lengkap, dia sedang memasang dasi dengan wajah tertunduk.
Aku yang membawa nampan berisi susu hangat dan nasi goreng special, melangkah perlahan ke dalam. Aku berdiri di depannya dan menegur lembut, "Than ini, sarapan dulu!"
Dia menatapku dari ujung kaki hingga ujung kepala, terlihat matanya sangat tajam dan juga dingin. Membuatku gugup, aku sangat asing dengan tatapan itu. Dan kemudian..
PRAAANG!!
Nathan menepis nampan itu hingga piring dan cangkir tadi pecah dan makanannya berhamburan. Tubuhku bergetar karena takut.
"Makan tuh nasi sampe habis!!!" bentak Nathan. Aku terdiam, mataku berkaca-kaca dan menatapnya tak percaya. "Apaan lu liatin gue?!!! Makan gue bilang!!" bentaknya makin geram. Kupingku tak sanggup mendengar teriakannya, sungguh menyakitkan.
Aku pun merangkak mendekati tumpahan nasi di lantai itu. kotor dan bercampur pecahan kaca sehingga membuatku berhati-hati memilah nasinya agar tak termakan kaca.
Dari belakang Nathan mendorong kepalaku, "Woi bodoh, lelet banget sih lo.. Habisin sampe lantainya bersih!!"
Aku hanya mampu tertunduk menatap lantai.
Aku terus bersabar disisinya meskipun kelakuannya semakin parah. Tak hanya dingin, tapi dia juga sangat kasar, membentak atau tak segan-segan melukaiku. Aku tak tahan, hatiku miris melihatnya tapi begitu aku berniat menyerah rasanya aku lebih menderita, aku menangis tak keruan di rumah. Sedangkan bersama Nathan, semenderita apapun aku, tak pernah setetes air mata pun jatuh karena aku suka di dekatnya. Dan aku akan terus berada disisinya sesakit apapun karena berdua lebih baik dari pada sendiri. Seperti lagu dari boys like girls yang judulnya two better than one, aku selalu mendengarkan lagu itu membuatku menganggap kalau itu lagu kenangan cinta kami.
Well, Aku yakin, Nathan pun masih mencintaiku. Dia tak ada niat menyakitiku, semua itu dia lakukan hanya untuk mengusirku dari hidupnya. Tapi aku tak bisa, aku tak sanggup jauh. Ternyata aku pun sama keras kepalanya dengan Nathan.
Berminggu-minggu aku bersamanya masih saja tak ada perubahan, aku memutuskan duduk di belakang, duduk bersebelahan bersama Nathan yang otomatis dekat dengan Bagas dan Anto. Mereka terus mengusikku dengan ejekan ataupun candaan, kalau aku mulai berwajah masam mereka berusaha membuatku tertawa. Walaupun nakal mereka ternyata orang yang cukup seru diajak berbincang. Sedangkan Nathan selalu sibuk membaca jika kami bertiga mengobrol.
Kami berempat selalu kemana-mana bersama, terlihat seperti F4 di boys before flower dan membuat mata cewek-cewek berlope-lope yaa.. walaupun aku tak diinginkan dalam genk itu, Nathan selalu membentakku.
Dan malam itu , ada kejadian yang membuatku tersentak. Aku tidur di lantai seperti biasa di sisi kasurnya, namun tiba-tiba Nathan memanggilku, "Hoi, bodoh.. Kemari.." teriaknya.
"Ada apa Than?" tanyaku sambil menengoknya.
Dia memandangku bringas, "Banyak tanya lo!!" Nathan menarik baju piyamaku dan menghempasku ke kasurnya.
"Na-Nathan apa yang kau lakukan!!" teriakku saat Nathan mulai menindihku. Aku mendorong dadanya kuat-kuat dan menepis tangannya yang menarik piyamaku, namun percuma, piyamaku sampai lepas kancing-kancingnya. Dada dan perutku terekspose membuatnya menjilati tubuhku penuh nafsu.
"Stopp!! Aaakhh.." aku menggerang kuat dan mendorongnya keras namun..
Buuukk!!!
Tinjuan keras menghantam pipiku, aku terdiam merasakan ngilu dan seolah pandanganku melayang kemana-mana. Aku merasakan asin dalam mulutku, bibirku berdarah. Aku terdiam karena perih di pipiku, sedangkan Nathan mencekek leherku. "Apa lu mau gue bunuh hah?" desisnya dingin dengan wajah marah.
Aku menggeleng lemah, "Tapi aku tak mau kita bercinta dengan cara begini.. Kau masih emosi denganku.."
Nathan mengetatkan cengramannya di leherku, "Jangan munafik, lu juga kangen dengan badan gue kan? Hah.."
"Than.. Aku gak bisa menikmatinya jika tanpa cinta!"
"Siapa yang nyuruh lu menikmatinya hah? Gue mau lu, layani gue. You are my slave, remember?"
"Gak Than! Aku gak mau..." aku berusaha menendang-nendang atau pun memukul tangannya tapi dia meninju perutku hingga aku terbatuk. Dia menghajarku habis-habisan, aku terkulai lemas.. Sekujur tubuhku ngilu, kepalaku pusing dan pandanganku kabur.
"Than.. Sakitt aahh.." desahku saat dia merajam lubangku dengan cepat.
"Diam lu! Lu mau ortu gue dengar hah!! Gue bakal hajar lu tiap kali lu bersuara, makanya diam gue bilang!"
Aku memejamkan mata pasrah, aku tak bisa berbuat apa-apa lagi sekarang dan hanya terdiam. Nathan mulai melepaskan cengramannya tapi dia mencekram tanganku kuat di atas kepala, tanganku sangat kesakitan. Dia menyetubuhiku dengan ganas, penuh nafsu dan tanpa cinta sedikit pun. Bahkan aku tak bisa merasakan secuil pun bibirnya meskipun aku berusaha menciumnya. Hanya dia yang aktif menggerayangiku, aku mati rasa. Tak bisa menikmati sedikit pun permainan yang melukai hatiku sekarang.
-----
Pukul 10 pagi, istirahat baru saja di mulai. Aku, Nathan, Anto dan Bagas duduk di bangku panjang kantin seperti biasa. Anto dan Bagas tadi pagi sempat kepo mau tau tentang lebam yang ada di wajah, leher dan tanganku. Itu hanya yang mereka lihat, aku masih punya banyak di dalam pakaianku luka yang tak terlihat. Nathan menghajarku habis-habisan semalam tiap kali aku menggerang. Namun aku hanya mengatakan, "Ah gapapa kok, kemarin aku ceroboh hingga jatuh di kamar mandi. "
Mereka awalnya memasang wajah tak percaya, namun karena tak mau memperpanjang urusan karena melirik wajah Nathan yang tak bersahabat, kurasa mereka tau apa yang aku alami. Namun, mereka hanya bergumam, "Oh gitu.."
Beda halnya dengan Putra, begitu aku jalan terpincang-pincang menuju buk lek kantin untuk memesan, si Putra langsung panik, "Dendy!! Lo kenapa? Yaampun, lu kenapa bisa bonyok gini?"
"Aku gak papa kok.." ucapku memaksakan senyuman.
"Bohong!! Ini pasti ulah Si tengik Nathan kan!!" teriaknya, beberapa orang memperhatikan kami.
Aku terpaksa menarik Putra ke belakang kantin, sedangkan Restu kembarannya mengekor di belakang Putra.
"Udah gapapa, aku gak kenapa-kenapa kok. See? Aku masih bisa tersenyum!"
"Senyum palsu lu!!" bentak Putra. Restu meraih tanganku, menatap prihatin memar biru di sana.
"Aku gak bisa bayangin, gimana sakitnya.." desis Restu nyaris menangis. Aku mengusap bahu Restu.
"Ayolah boys, aku gak papa kok.."
Putra memandangku marah, "Heran gue!!! Lu itu masocist atau emang kelewat cinta sama si tengik Nathan! Apa sih bagusnya dia!! Gantengan gue kemana-mana kali.."
"Cinta adalah cinta, Putra.. Suatu saat kau akan merasakannya dan saat itu lah, kau akan memperjuangkannya."
"Berjuang sampe rela dianiaya gini! Lu gila! Gue harus kasih pelajaran tuh tengik!!"
"Putra!!!" air mataku langsung jatuh, "Please.. Hargai aku sebagai sahabatmu, jangan sakiti Nathan.. Itu juga akan nyakitin hati aku please.."
Putra membuang muka, terlihat air matanya jatuh ke lantai. Restu langsung memelukku dan menepuk bahuku, terdengar Restu juga terisak, membuat tangisku makin pecah, bebanku rasanya keluar semua, aku menangis sejadi-jadinya hingga bahu Restu basah. Putra pun menyusul memeluk kami.
"Nathan itu buta hatinya kalau gak bisa lihat kesungguhan cinta lu.." desis Putra dengan suara serak dan mengusap kepalaku.
Kami bertiga bergenggaman tangan, yang bisa aku rasakan tangan mereka sama dinginnya. Kami menangis deras, bahkan tak mampu berkata-kata lagi. Untung tempat itu sepi jadi tak ada yang melihat.
Aku melepaskan pelukan perlahan, mengusap air mataku dan tersenyum lebar, "Udah ya Boys, malu.. Tapi Aku senang bisa punya sahabat yang bisa rasain sakit aku kaya kalian, rasanya beban aku berkurang.. Umm aku harus beli minuman dulu ke kantin sebelum jam istirahat habis, bye.." ucapku.
Putra masih memandangku dengan tatapan suram sedangkan Restu tersenyum sambil melambaikan tangan innocent.
Aku kembali melangkah ke kantin, berdesakan dengan orang-orang yang juga ingin membeli makanan maupun minuman. Setelah susah payah, nafas juga hampir habis akupun berhasil membawa dua gelas es teh. Kantin ini masih pakai sistem ambil sendiri, hanya kantin kecil yang pembelinya sangat rame.
Aku hanya punya dua tangan terpaksa membawanya sedikit-sedikit. Bawa dua gelas dulu, namun begitu aku nyaris sampai Nathan mengulurkan kakinya hingga membuatku tersandung, daguku terhantup lantai dan gelasnya pecah, "Lelet banget lu!! Ceroboh pula.. Dasar bodoh.. Kami nunggu sampe jamuran nih!!" bentak Nathan.
Semua mata tertuju pada aku yang terjerembab di lantai, aku hanya diam, aku sentuh daguku yang berdarah. Aku meringis pelan.
"Hoi bodoh.. Diam lagi lu!" bentak Nathan.
Aku bangkit perlahan, kulihat lututku yang basah rupanya lututku juga terluka. Aku merangkak perlahan ke arah pecahan kaca itu namun saat aku meraih kacanya, Nathan menginjak tanganku, "Aaakh.." aku memekik keras.
Bruukkk!!!
Dari arah belakang Putra menerjang tubuh Nathan, "Eh lu minta dihajar hah! Sabar gue udah liatin tingkah lu yang ngeaniaya Dendy! Tapi sekarang habis lu!!" Putra menghajar Nathan habis-habisan. Orang-orang mulai berkerumun mengadu domba.
"Putra jangaan.." lirihku, tapi Restu menahanku. Dia berjongkok di sampingku, diambilnya kaca di telapak tanganku menggunakan tissue dan menahan aliran darah di tanganku dengan tissue.
"Restu tolong..." lirihku yang menangis tertunduk.
Restu menatapku lekat hingga akhirnya bangun, "Kakak cukup!!!" Putra menghentikan tinjuannya dan Nathan mendorong Putra.
"Nathan dengar, kami bisa saja melaporkanmu ke kantor polisi jika kau masih jahat dengan Dendy.." suara Restu terdengar dingin.
Nathan hanya mendengus kesal, mendorong bringas orang-orang yang menghalanginya dan pergi menjauh.
"Kak, lain kali jangan pakai kekerasan. Pakai otak.." Restu berusaha menasehati Putra sodara kembarnya itu. Tapi Putra hanya mendengus kesal.
Bagas dan Anto mencoba mengangkatku dari lantai ke kursi panjang itu. Putra dan Restu menyusul duduk di hadapanku, "Sampai kapan lu bertahan? Sampai lu mati konyol hah?" tanya Putra dingin
"Tolong.. Jangan apa-apakan Nathan, tolong..." lirihku dengan suara tercekat, aku menangis lagi, membuat hidung dan pipiku basah. Tampangku benar-benar kacau sekarang karena bercampur lebam, air mata dan darah. Bagas memeluk kepalaku ke dadanya membuat bajunya kotor, Anto mengusap punggungku, Restu terus membersihkan darah di tanganku sedangkan Putra geleng-geleng tak percaya. Kami semua terdiam walaupun seluruh isi kantin riuh berbisik-bisik. Ada juga beberapa anak yang mendatangiku, berusaha menabahkanku.
Aku tersenyum tipis, rasanya aku tersentuh disaat keras begini aku bisa merasakan persahabatan yang sesungguhnya. Ternyata banyak yang care denganku.
BERSAMBUNG
Sorry banget, kesannya dendy jadi kaya cwek gini. Soalnya gue suka bot rada kemayu haha..
Sedih menn
ReplyDeleteg pp klo agak kemayu dendy nya,mlah tambah suka sama dendy
ReplyDeleteKnp karakter dendy jd spt ini??? Bukannya di awal kisah dendy itu cool bahkan jago bela diri ampe lawan anto dan bagus saja menang... ckckck...
ReplyDelete