Banana Cake Boy
By Yanz
TIK…
TIK..
Aku angkat telapak tanganku dan merasakan
tetesan hujan yang jatuh di telapak tanganku, tetesan yang mulanya kecil namun
semakin deras dan membuat beberapa orang disekitarku berlarian mencari tempat
berteduh. Lain halnya denganku, aku hanya terpaku menatap langit yang sekarang
sangat gelap seperti sudah jam 18:30, padahal sekarang baru jam 13:17, berjalan
mengelilingi kota tanpa tujuan sejak tadi. haaah… aku menghela nafas panjang lagi, entah
berapa kali hari ini aku melakukannya, suasana sekarang seolah mewakili betapa
galaunya perasaanku sekarang.
Kusentuh dadaku, seperti ada belati tajam
yang menancap di sana. Yang ada dalam benakku selalu kata ‘kenapa?’. Kenapa aku
harus kehilangan kekasih yang sangat aku cintai? Kenapa dia harus
meninggalkanku selamanya?
Saat aku menundukkan kepalaku, air mataku
tumpah dan membaur bersama air hujan namun, tiba-tiba…
“Mas, jangan hujan-hujanan, lebih baik
mampir di toko kami,” sapa seorang pemuda manis dengan membagi payung merahnya
padaku.
Sekilas aku menatap wajahnya yang begitu
ramah dengan tatapan mata yang begitu polos seperti anak kecil, dan menatap
sebuah toko kue cantik yang dia tunjuk dengan jempolnya, “Eemmm baiklah.”
@@@@@@
“Haahh… sepi sekali toko, hari ini,”
ucapnya dengan wajah lesu setelah itu duduk di bangku sebelahku.
Dengan santai aku mengeringkan rambutku
dengan handuk, “Hujan-hujan begini mana ada yang mau keluar rumah hanya untuk
membeli kue,” jawabku ketus.
Dia langsung menghela nafas lagi, jadi
semakin manis, aku penasaran berapa umur pemuda di hadapanku ini, “TAPI REJEKI
TIDAK AKAN KEMANA!!!” teriaknya bersemangat.
“Hm… ngomong-ngomong umurmu berapa?”
“20 tahun, kenapa mas?”
“Jangan memanggilku mas, namaku Johan aku
juga 20 tahun. Emm… hanya saja… kau seperti anak kecil.”
“APA?!!! Ahahaha aku sudah sering
mendengarnya, aku memang awet muda, namaku Vicky,” jawabnya dengan riang.
Aku tersenyum tipis, menatapnya begitu
menyenangkan sampai-sampai aku lupa dengan kegalauanku, “Oiya… kenapa tadi hujan-hujan
?” tanya Vicky
“Galau.”
Matanya langsung membesar menunjukkan
expresi kaget, “Johan galau kenapa?’’
“Ini masalah pribadiku.”
Dengan wajah cemas dia kembali berkata,
“Lebih baik dishare biar bebannya gak ditanggung sendiri.”
“Emmm.. kekasihku yang sangat aku cintai
meninggal…” ucapku kembali tertunduk.
“Aish… aku tidak bisa bayangkan bagaimana
rasanya diposisimu, pasti sangat sakit. Tapi kau tidak boleh putus asa, biarkan
dia tenang di dunia barunya, kita Cuma bisa berdoa, kau harus ikhlas.”
“Entahlah… apa aku mampu…”
“Ah… tunggu sebentar, ada pelanggan yang
harus kulayani,” ucapnya ramah, aku langsung menggenggam tangannya, seolah
tidak membiarkannya pergi.
Alisnya sedikit berkerut karena bingung,
“Permisi, Johan aku harus melayani pelanggan.”
“Disini saja temani aku.”
Dia tersenyum tipis, “Aku akan segera
kembali.”
Perasaan barusan… aku bingung dengan apa
yang kurasakan barusan, jantungku berdesir-desir, apa mungkin karena tangan
halusnya yang seperti perempuan atau sifat riangnya yang mengingatkanku dengan
Sari, kekasihku yang sudah pergi.
Aku bertambah bingung saat rasa cemburu itu
datang, aku cemburu saat dia ramah dengan gadis yang dia layani, namun sesekali
dia menengokku sambil tersenyum jantungku kembali berdesir, apa aku gila? Aku
menyukai seorang pria?
“Ah.. sudah kelar… emmm apa kau mau
kubuatkan sesuatu? Kau dari tadi tidak makan apapun,” tanyanya dengan tatapan
polosnya lagi, aku hanya memanggutkan kepalaku tanda setuju.
Dia mengambil sepotong kue yang ada di
dalam lemari kaca dan membuatkanku secangkir kopi, tidak lama dia kembali, “Ini
banana cake kesukaanku, semoga kau juga suka.”
Aku sedikit canggung, dia hanya menatapiku
dengan kedua tangan yang ia letakkan di dagunya dan sikut di atas meja, aku
heran kenapa dia semanis ini?
“Enak.. kau yang buat?”
Wajahnya langsung cerah, “Sungguh? Iya aku
yang buat tadi pagi… makan yang banyak, aku kasih gratis karena kau sedang
galau.”
“Jangan terlalu baik, nanti tokomu rugi,”
ujarku sambil mengambil uang di dompetku.
“Gak usah! Aku tulus,” katanya memaksa, aku
pun memasukkan kembali uangku.
“Vicky, layani pelanggan! Jangan mengobrol
saja!” teriak seorang pria tua, kemungkinan dialah pemilik toko kue ini.
“Iya pak sebentar! Emmm sebantar Johan, aku
ada tugas dulu.”
@@@@@@@@@
Aku terus menunggu Vicky sampai sore,
walaupun dia tidak mempunyai kesempatan meladeniku tapi aku cukup senang
melihat wajah cerianya yang begitu menawan. Yaa… walaupun aku ditatap sinis
oleh bapak-bapak tua tadi, mungkin dia kesal aku tidak pulang juga dan hanya
makan gratis.
“Aaah… selesai! Hmm kau belum pulang,
Johan?” tanyanya.
“Gak, aku nunggu kamu, hmm apa tokonya
sudah mau tutup?”
“Belum, nanti ada pegawai lain yang giliran
kerja malam, toko ini 24 jam. Hah buat apa menungguku?”
“Oh… hmm gapapa, Cuma mau bersamamu saja,”
kataku, hah? Buat apa aku berkata begitu?
“Hahahaha… iya tunggu, aku ganti pakaian
dulu.”
Dia pun mengganti pakaian seperti lelaki
pada umumnya, kesan imut pun sedikit tertutupi walau senyumnya tetap manis.
“Kau tidak membawa kendaraan?” tanyanya,
aku hanya menggelengkan kepala. “Yasudah, bareng aku saja naik bus.”
@@@@@
Aku Cuma membisu di dalam bus, duduk
bersebelahan dengannya dan menatap wajah manisnya membuatku canggung dan gugup,
tapi tidak tau kenapa tanganku malah bergerak meraih tangannya dan
menggenggamnya, dengan cepat dia menoleh dan tersenyum, “Kenapa?” tanyanya
sambil membalas genggaman tanganku.
Aku seperti mendapatkan lampu hijau, apa
jangan-jangan dia itu… hah… harap-harap cemas, “Emmm gapapa,” jawabku datar.
“Ah… rumahku sudah hampir sampai.. duluan
ya..”
“Tunggu! Bolehkah aku menginap?”
Dia heran dan sedikit menimbang, namun
tidak lama kemudian senyumnya mengembang, “Tentu boleh!”
@@@@@@@@@@@
Dia menyalakan semua lampu di rumah
mungilnya itu dan membantuku melepaskan jaketku, “Mana keluargamu?” tanyaku.
“Aku tinggal sendiri di Jogja, keluargaku
di Solo.”
“Kenapa begitu?”
“Mencoba merantau dan hidup mandiri, aku
tidak mungkin selalu bergantung kan?”
“Nice…”
“Kamu itu cuek banget ya, kalau ngomong
selalu simple, tapi kesannya cool.”
“Benarkah? Cuma masih dalam suasana duka.”
“Sudahlah, kan kita masih muda, nikmati
sisa hidup ini, jangan terlalu bawa beban.”
Aku mencoba tersenyum. Dia mendekat, sangat
dekat… aku bisa merasakan hembusan nafasnya di daguku, dia mendongakkan
kepalanya dan aku menatap mata cantiknya, “Apa kau juga gay?’’ tanyanya penuh
harap.
Aku langsung mendorong badannya setelah
sadar dengan kalimatnya barusan. Gay? Sebelumnya aku tidak pernah kenal dunia
ini walau sering mendengarnya di media, “Kekasihku selalu perempuan!” ucapku
sedikit menekan.
“Kau bisex?”
“Gak mungkin..”
Dia langsung mengerutkan keningnya dan
memasang tampang kecewa, “Tapi… perlakuan denganku apa maksudnya? Itu maho
banget.”
Tatapanku langsung kosong, berusaha mencari
alasan yang tepat, “Kau mirip Sari, kekasihku yang sudah meninggal.”
“Aku cowok, mirip apanya?”
“Mungkin bukan fisikmu, tapi… auramu,
suasana bersamamu sama seperti suasana bersamanya.”
“Hahaha… pada intinya kau menyukaiku kan?”
Aku tidak menjawab, karena aku masih ragu,
aku normal, hidup di lingkungan normal dan baik, kalau pun jadi gay mungkin
sudah takdir, ya kan?
Aku terduduk di kursi di dekatku, “Aku
kesepian… sudah lama aku tidak merasakan sentuhan,” ucapnya setelah berlutut di
hadapanku dan memeluk perutku, jantungku semakin berdegup kencang.
Aku memeluk kepalanya dan mencium kepalanya,
rasa geregetan itu malah muncul ditambah lagi dia memperlihatkan wajah
manisnya.
“Ke kamarku saja ya, lebih aman,” dia
mencoba menarik tanganku untuk bangkit, namun aku menolak dan menariknya hingga
terjatuh di atas tubuhku.
“Emm.. mau apa?”
“Melakukan yang kau mau,” dia tersenyum
nakal.
“Memang apa yang aku mau?”
“Jangan menyangkal..”
“Sabar… kau tidak kasihan denganku, aku
baru saja berduka Vicky, sangat tidak tepat waktunya.”
“Kau akan melupakan semua dukamu karena aku
akan membawamu terbang ke surga,” dia menjilat leherku sampai membuatku
merinding.
Aku menarik dagunya dan mengecup bibirnya
dengan lembut, “Biarkan aku tenang dulu, Vicky.”
“Emmhh… ummmmhh..” dia malah melumat
bibirku dengan ganas namun aku cepat menjauh.
“Kau nakal sekali rupanya… kubilang
waktunya gak tepat, berikan aku waktu mengenalmu dan mencintaimu dulu,” kataku
seraya mengelus rambutnya dan mengecup kelopak matanya.
“Kau ternyata berbeda ya… kau menarik, aku
ingin sekali memilikimu.’’
“Benarkah? Emmmh.. kurasak tidak perlu
banyak waktu untuk mencintaimu.”
@@@@@@@@@
Malam itu kami tidur bersama, hanya tidur.
Berpelukan untuk saling menghangatkan aromanya seperti kue cake dan pisang,
membuatku ingin ‘memakannya’ namun kutahan, alhasil aku gelisah, aku terjaga
semalaman, kadang kukecup keningnya, rasa sayang itu tumbuh dengan cepat hanya
dalam satu malam.
FIN
Catatan yanz: jelek ya? Pendek ya? Maaf
Cuma pengobat galauku doang.
Vicky
nih
No comments:
Post a Comment