Catatan Hati Seorang Uke (ONESHOOT)
By: yanz
Happy reading \^0~/
-Awhal POV-
Dengan nafas berat aku menarik senapan aku arahkan lasernya
tepat di kepala calon gubernur yang akan di lantik itu.
DORR DORR DORR
Dengan cepat aku berlari dari lokasi penembakan itu, aku
berlari secepat mungkin melompati tangga-tangga darurat menuju bawah gedung
karena posisi awalku di sebuah gedung apartement, setelah sampai di bawah ada
seseorang yang menangkap tubuhku, mengambil senapanku dan menyembunyikannya
kemudian mememasangkanku kemeja dan juga merapikan rambutku, “Kau yang terbaik,
aku mencintaimu..” bisik Ryan sambil melumat mesra bibirku.
Kami mulai berjalan santai dan membaur di keramaian sehingga
tak menimbulkan kecurigaan di mata para polisi yang sibuk mencari pembunuhnya.
**
Ryan terduduk di kasur, asik menghitung uang bayaran yang
ada di dalam dua koper besar, kami berdua adalah partner dalam profesi
menantang kami sebagai pembunuh bayaran. Aku memiliki kemampuan menembak yang
jitu layaknya sniper sedangkan Ryan memiliki otak genius yang selalu mampu
mengecoh suasana sehingga kami selalu berbagi tugas saat beraksi.
Aku duduk mendekatinya, posisiku kini tepat di belakangnya,
aku menempelkan dadaku pada punggungnya dan melingkarkan tanganku di pinggangnya,
aku merasakan kehangatan dari tengkuk Ryan yang menyentuh pipiku, aku mulai
meraih HP dan mengetik, “Sebaiknya kita berlibur ke suatu pulau, hanya berdua
tanpa kehadiran orang lain...” bujukku, aku bisu dan hanya benda ini yang
membantuku berkomunikasi.
Ryan membalikkan tubuhnya, dia tatap aku dengan mata sayunya
kemudian mengecup pipiku dengan lembut, “Aku masih haus dan ingin menyeselaikan
lebih banyak projek..”
Aku memainkan kemeja Ryan, menatapnya manja, berharap dia
luluh. Jujur, aku lelah... hatiku lelah ketika merenggut banyak nyawa yang
tidak bermasalah di dalam kehidupanku, hanya demi profesionalitas aku tersiksa
melaksanakan tugas yang tidak bisa diterima hati nuraniku.
Ryan menarik daguku, melumat bibirku dengan mesra, dia tarik
pinggangku membuat tubuh kami merapat, aku mendorong dadanya pelan, “Uang kita
sudah cukup banyak...” tulisku sambil menatapnya penuh harap.
PRAAK
Ryan menepis Hpku hingga hancur di lantai dan menatapku
tajam, “Kenapa? Kau mulai membangkang hm? Ingat, kau tinggal bersamaku ikuti
rulesku, kau hanya gembel yang aku pungut empat tahun lalu!! Kau bukan
siapa-siapa tanpa aku, jangan pernah berharap kau bisa hidup sesukamu.”
Aku bergidik ngeri, aku hanya bisa tertunduk dan meremas
tanganku, Ryan kembali menunduk untuk mengecup bibirku, “Besok aku belikan
handphone yang baru, sudah lama kan kau menginginkan xperia C3.”
Aku hanya mengangguk lemah, aku memeluk lehernya dan
membiarkannya mencumbuku, saat memejamkan mata aku teringat moment itu...
Saat pertama kali kami bertemu.
I was 16 years old, aku tertidur di emperan jalan, aku
merasakan tangan hangat mengusap rambutku, “Tampan...” ucap sebuah suara yang
membuat mataku terbuka secara perlahan.
Aku tatap seseorang yang mengenakan setelan rapi dan
berkacamata, dia buka kacamatanya menampakan mata coklat yang indah, alis tebal
dan senyumnya membuatku terhanyut detik itu juga, lesung pipi yang luar biasa
manis.
“Kenapa tidur disini?” tanyanya dengan suara yang terdengar
bersahabat.
“Aaa.. auuu enggg...” aku hanya bergumam tidak jelas, aku
sentuh leherku, berusaha memberinya isyarat bahwa aku tidak mampu berbicara.
“Kau bisu? Kau gelandangan?” tanyanya. Aku hanya mengangguk,
dia tersenyum lagi dan mengecup keningku dengan lembut, “Tinggal lah
bersamaku...” saat itulah kami mulai menjalani sebuah hubungan dan hidup
bersama.
Ryan selalu mengatakan bahwa dia mencintaiku saat pertama
kali melihatku, aku hanya sosok remaja kucel saat itu, jadi aku percaya cinta pada
pandangan pertama itu ada, karena aku pun merasakannya.
Tapi secara perlahan aku mengetahui latar belakangnya,
awalnya dia hanya membunuh di depan mataku, membuatku ketakutan, tapi
selanjutnya dia memberikan pistol padaku, memerintahkanku untuk menembak dan
aku terpaksa melakukannya.
Hari demi hari kemampuan menembakku semakin hebat, bahkan
melebihi kemampuan Ryan, sehingga dia menjadikanku alat utama di dalam tiap
projek kami.
Aku kembali terbayang hari-hari manis yang kami jalani.
Dimana kami asik berselfie di depan air mancur, aku mengalungkan tanganku di
lehernya dan mengecup pipinya, dengan senyum nakal dia mencipratkan air padaku,
aku membalasnya hingga kami sama-sama tertawa, dengan jahilnya dia mendorongku
ke kolam, aku berusaha meminta tarikannya tapi justru aku yang menariknya masuk
ke dalam kolam air mancur itu, aku menduduki perutnya dan tertawa-tawa dengan
suara yang aneh.
Festival gelembung juga membuatku sangat teringat dengannya,
dimana suatu taman dipenuhi gelembung sabun dengan berbagai ukuran dan warna,
aku dan Ryan asik berlarian menepuki gelembung, kami juga merasakan para
gelembung menerpa wajah kami, menghirup aroma sabun dengan mata terpejam dan
saat itu lah aku merasakan ada benda lembab menyentuh bibirku, aku tersentak,
Ryan sangat berani menciumku di depan umum.
Dia ciuman pertamaku... aku pun terlelap bersama
kenangan-kenangan manis itu.
**
SREET...
Suara gorden terbuka membuat kupingku bergerak, mendadak
jadi silau aku terpaksa membuka mataku, “Good morning my prince...” bisiknya
saat mulai merangkak menindihiku.
Aku tersenyum tipis dan mengecup pipinya, “Hanya pipi? Sisi
yang lain juga menginginkan morning kiss...” aku mencubit pinggangnya,
membuatnya terkekeh kemudian aku kecup bibirnya singkat, aku belum sikat gigi,
tidak PD melumatnya secara berlebihan, saat aku berusaha lari, Ryan kembali
menarik pinggangku dan menghempasku di kasur, kami sempat bergulat untuk
bercanda beberapa saat hingga akhirnya Ryan kelelahan, “Prince, aku mandi dulu
ya... atau kau ingin kita mandi bersama...”
Aku hanya menggeleng dan memeluk tubuhku, memberi isyarat
bahwa aku masih kedinginan dan belum siap mandi. Ryan memelukku sekilas sebelum
dia pergi ke kamar mandi. Aku kembali menggeliat hikmat, menikmati pagi sejukku
ini dengan bermalas-malasan. Sayangnya suara bell mengacaukan segalanya.
Aku berlari dengan cepat menuju pintu, suara bell itu terus
berbunyi. Aku buka pintu tadi dengan tergesa-gesa, disana berdiri seorang
pemuda langsing dengan rambut pirang, dia tersenyum lembut, “Hei... lu lucu
banget, tembem...” ucapnya sambil memainkan pipiku, aku cengok seketika. Aku
pergi sebentar untuk mengambil buku dan pulpen untuk berkomunikasi, “Maaf, kamu
siapa? Dan mencari siapa?” tulisku.
“Lu pasti Awhal adiknya Ryan kan? Gue Rama, pacarnya
Ryan...”
DEG...
Tubuhku seolah membeku seketika, tanganku yang memegang
pulpen bergetar, ini bohong kan?! Ryan tidak mungkin memiliki lelaki lain dalam
hidupnya, itu bukan Ryan yang aku kenal! Kecupan Rama yang mendarat di pipiku
membuatku tersadar dari lamunan, aku memundurkan langkah, “Ngelamun lagi, bikin
tambah gemes tau gak... eh cariin kamar buat gue, mulai sekarang gue tinggal
disini. Ok?” ucapnya semaunya, aku hanya terdiam dengan air mata mulai
menggenang.
Ryan yang hanya menggunakan handuk keluar dari kamar mandi,
tatapannya membulat saat melihat kehadiran Rama, “Ngapain kesini?!” bentak
Ryan.
Rama memanyunkan bibir dan mencium Ryan, astaga... kenapa
bisa sesakit ini.. aku bergetar hebat, tubuhku merinding karena menahan emosi
yang menggigil. “Ah sayang kenapa kasar sih? Gue habis di usir dari kosan.. gue
tinggal di sini ya?” rayunya sambil bergelayut manja dengan Ryan.
“Lu gak bisa bayar kosan? Nih uang ambil, sekarang balik!”
bentak Ryan.
“Gak ah... males, lu anggurin gue mulu sendirian, gue kan
kangen... kangen si perkasa ini...” desisnya nakal sambil meremas paha kokoh
Ryan. Ryan menatapku dengan tatapan bersalah, kami semua terdiam untuk beberapa
saat.
“Oh ya, Ryan. Adek lu ngegemesin ya? Gue suka..” ucap Rama
sambil merangkulku, aku hanya terpejam sambil menahan tangis.
“Jangan sentuh dia!” bentak Ryan.
“Ah lu sih pelit...” rajuk Rama. Aku menatap Ryan penuh
tanda tanya, dia hanya menganggapku adik. “Whal, cariin kamar gue dong...”
pintanya, aku hanya mengangguk lemas sambil menunjukkan sebuah kamar kosong di
samping kamar kami.
Aku berjalan untuk memasuki kamar kami, dengan murka aku
memukul-mukul dada Ryan.. “Aaaargghhh!!! Aaaah aaaa... gaaahh... haaah akh...”
ucapku tak keruan, rasanya aku ingin meneriakkan semua bebanku meskipun lidahku
tidak mampu mengucapkan sepatah kata pun. Aku menangis meraung-raung sambil
meremas bahunya, aku menenggelamkan wajahku di dadanya. Ryan hanya terdiam
pasrah menerima seranganku.
Aku meraih HP Ryan yang ada di meja, aku ketik apa yang
ingin aku ucapkan, “Tega kamu Ryan!” tulisku.
“Maaf...” desisnya sambil mengecup tengkukku.
“HANYA MAAF? Putusin dia! Aku gak mau diduakan.”
Ryan mengangkat daguku, membuat pandangan kami bertemu, “Gak
sesimple itu. Rama anak mafia besar, saat dia menyukaiku aku hanya bisa
mengikuti perintah ayahnya yang pada dasarnya dalang dari segela projek kita.”
“Aku gak Rela Ryan! Aku gak rela!!!”
Ryan menatapku tajam, “Lalu maumu apa? Putus?”
Tangisku semakin pecah mendengar pernyataannya, “Ai au
einaiu...” aku berusaha keras
mengucapkan kalimat itu, ‘Tapi aku mencintaimu’ hanya kalimat sederhana saja
tidak mampu ditembus lidahku.
“Aku juga mencintaimu Whal..” bahuku menegang ternyata dia
mampu mengerti ucapanku, “Maka dari itu bertahanlah... biasakan diri hidup
dengan kehadiran Rama...”
Aku menggigit bibirku geram, Tolong aku tidak menginginkan
ini. aku sudah lelah menjadi pembunuh berdarah dingin, ditambah semua ini
membuatku semakin tidak betah, aku mundur secara perlahan. Aku keluar dari
kamar dengan wajah yang tak mencurigakan, setelah berhasil meraih pintu rumah,
aku berlari dengan kencang. Tapi aku terkejut, dari atas jendela Ryan melompat
lincah, dia melihatku, aku berusaha memasuki gang-gang kecil, terlihat Ryan
berlari di atas beton gang itu dan melompat bagaikan pemain parkour saat aku
membelokkan langkah, aku terus berusaha mengecohnya dengan tikungan-tikungan
tapi akhirnya dia melompat tepat di depanku.
Aku berbalik arah, berusaha berlari tadi dia tangkap
pinggangku, menghempasku di dinding beton itu dan menekan tubuhku, dia
menodongkan sebilah pisau tajam di leherku, “Kau sudah berani bermain-main
denganku hm? Jangan harap kau bisa lepas dari jeratanku, semakin kau melawan,
semakin aku membuatmu tersiksa.” Ancamnya dengan nada tajam.
Ryan menjambak rambut ikalku, menyeretku kembali ke rumah,
aku hanya bisa terisak.
Tatapan hangatnya kini hilang, dia hanya terobsesi
memilikiku, tapi tidak lagi menjagaku. Sesampainya di rumah, Rama menyambut
kami, “Hei dari mana aja?”
“Habis main lari-larian tadi..” ucap Ryan sambil tersenyum,
dikecupnya bibir Rama di depan mataku sendiri. Aku meringis pedih, tega...
tegaa!!! Saat air mata mulai menggenang aku berusaha menjauhi mereka, aku tidak
sanggup, “Heh siapa yang nyuruh pergi? Sekarang masak untuk kami!” bentak Ryan,
seolah membentak seekor anjing. Aku hanya mengangguk lemah, pergi dengan
tatapan terluka.
**
Selesai sarapan, aku hanya bisa terbaring di kamar, terbaring
sambil menangis semua itu melelahkan dan membuatku tertidur cukup lelap. Tapi
sesuatu yang terjatuh di wajahku membuatku terkejut, kotak HP? “Sony xperia C3
seperti janjiku semalam. Lanjutkan tulisan-tulisanmu..” hanya itu yang Ryan ucapkan dan meninggalkanku
kembali, aku bisa mendengar dari luar suara mereka yang bercengkrama akrab,
terdengar bahagia. Aku hanya bisa meringkuk disini, mengungkapkan kata-kata
hatiku di dalam aplikasi handphone.
Rasanya kebas, kupingku mendadak berdengung, mataku kabur
karena genangan air mata, aku hanya bisa meremas dada yang terasa nyeri, lebih
nyeri lagi saat aku nekat menghintip mereka yang duduk asik di ruang TV, mereka
berciuman mesra, aku menutup mulutku yang nyaris menggerang histeris, Tuhan...
apa aku sanggup menampung segala rasa sakit ini? nafasku sesak, atmosfer
rasanya berubah total...
Bibir itu milikku bukan? Senyum itu milikku, jari itu
milikku, tubuh itu milikku bahkan hati itu seharusnya milikku. Kenapa sekarang
Rama yang menjamah semuanya? Aku menggigil sambil menggigit tanganku saat aku
mendengar mereka mulai merintih dan bercinta di sofa itu, ingusku semakin
penuh, rasanya aku tidak mampu bernafas.
Aku merangkak secara perlahan dengan air mata yang mengalir
membasahi lantai, aku berlari ke kamar mandi mencuci mukaku, rasanya kepalaku
sangat sakit karena terlalu banyak menangis hari ini.
Aku kembali merangkak ke tempat tidur, menarik selimut dan
mendekap guling dengan hangat. Tuhan, hanya satu doaku, hilangkan segala rasa
sakit ini, beri aku kekuatan.
**
Basah... hangat... geli... apa aku bermimpi? Kenapa aku
merasakan tiga hal itu menyapu leherku, saat aku membuka mata aku tersentak,
“Aaaakh!!” erangku, aku hanya bisa berteriak tak jelas saat menyadari kini Rama
menindih tubuhku.
“Hai manis, lu udah bangun...” bisiknya sambil menjilat
kupingku, aku berusaha menggerak-gerakkan wajah menghindari ciumannya, “Lu itu
manis banget ya, pantesan Ryan tergila-gila dan gak mau mutusin lu.”
Aku terkejut, jadi Rama sudah mengetahui hubungan kami,
“Entahlah.. gue bingung harus anggap lu saingan atau apa, yang pasti gue
terangsang sama lu..” Rama melumat bibirku dengan ganas, apa dia seorang vers?
Entahlah... yang pasti aku memberontak sebisa mungkin.
“Bagaimana rasanya Whal sakit hati? Pasti gak enak ya...
tapi sangat menarik membuat matamu basah, apa kau tau tubuh Ryan sangat sexy,
dia pria yang sangat perkasa dan candu buatku. Asal lu tau, gue bakal milikin
dia seutuhnya. Lu punya dua pilihan, gue singkirin atau menyingkir dengan
sendirinya. “Aaaakh!!” aku hanya berteriak tak keruan.
Kreaak...
Tuhan, syukurlah pintu terbuka, wajahku terasa sangat girang
saat itu. Ryan masuk, “Ada apa ini?” tanyanya terkejut.
Rama langsung melompat dari tubuhku, dia langsung memeluk
Ryan manja, “Tolong gue Ryan, tadi Awhal nyerang gue, terpaksa gue serang balik
dia makanya tadi gue tindihin dia.”
Fitnah! Dasar keparat! Aku berusaha menatap Ryan dengan mata
sedih, ini tidak benar Ryan kau percaya aku kan?! Ryan menatapku teduh, aku
rasa dia pun percaya aku. Tapi Rama yang licik itu terus bergelayut manja,
membuat dadaku panas, “Lu usir dia sekarang atau gue kirim pasukan buat habisi
kalian berdua?’’ ancam Rama. Aku menatap shock, aku menggeleng, Ryan juga
terlihat berat tapi dia mencengram tanganku, menyeretku keluar, aku terus
memukul-mukul tangannya, aku menggerang-gerang berusaha meyakinkannya bahwa
disini aku tidak ingin berpisah darinya, tolonglah... apapun yang dia lakukan
aku rela, berselingkuh, bercumbu, bercinta aku sudah tidak perduli lagi, aku
hanya menginginkan Ryanku yang hangat mendekapku setiap malam, menciumku setiap
pagi dan menghirup aromanya yang menenangkan.
Tapi pintu rumah itu tertutup rapat, aku hanya bisa meraung
tak keruan di depan pintu, bagaimana lagi aku menemukan jalanku? Ryan ini bukan
pilihan yang tepat, aku lebih suka mati bersamamu dibunuh para mafia itu dari
pada harus kesakitan sendiri. Mataku kabur, aku meremas wajahku yang semakin
kacau karena tangisan lukaku.
Dengan perlahan aku mundur menjauhi pagar, aku berjalan
mundur dengan bodohnya, terdengar suara klakson mobil maupun teriakan
orang-orang...
BRAAK!!!
Semua itu hanya sekejab, aku tidak bisa merasakan apapun
saat tubuhku dihantam sebuah truk, terseret kemudian terlempar di trotoar, aku
mulai mengantuk, tubuhku terasa ngilu dan tidak mampu aku gerakkan, samar-samar
terdengar suara yang sangat familiar, “Aku mencintaimu... tolong siapapun
tolong!!!” itu suara terakhir yang aku dengar hingga kupingku mendengung, semua
terasa kebas dan mataku tertutup.
END
No comments:
Post a Comment