Monday, February 15, 2016

Catatan Hati Seorang Uke (ONESHOOT)



Catatan Hati Seorang Uke (ONESHOOT)

By: yanz

Happy reading \^0~/

-Awhal POV-

Dengan nafas berat aku menarik senapan aku arahkan lasernya tepat di kepala calon gubernur yang akan di lantik itu.


DORR DORR DORR

Dengan cepat aku berlari dari lokasi penembakan itu, aku berlari secepat mungkin melompati tangga-tangga darurat menuju bawah gedung karena posisi awalku di sebuah gedung apartement, setelah sampai di bawah ada seseorang yang menangkap tubuhku, mengambil senapanku dan menyembunyikannya kemudian mememasangkanku kemeja dan juga merapikan rambutku, “Kau yang terbaik, aku mencintaimu..” bisik Ryan sambil melumat mesra bibirku.

Kami mulai berjalan santai dan membaur di keramaian sehingga tak menimbulkan kecurigaan di mata para polisi yang sibuk mencari pembunuhnya.

**

Ryan terduduk di kasur, asik menghitung uang bayaran yang ada di dalam dua koper besar, kami berdua adalah partner dalam profesi menantang kami sebagai pembunuh bayaran. Aku memiliki kemampuan menembak yang jitu layaknya sniper sedangkan Ryan memiliki otak genius yang selalu mampu mengecoh suasana sehingga kami selalu berbagi tugas saat beraksi.

Aku duduk mendekatinya, posisiku kini tepat di belakangnya, aku menempelkan dadaku pada punggungnya dan melingkarkan tanganku di pinggangnya, aku merasakan kehangatan dari tengkuk Ryan yang menyentuh pipiku, aku mulai meraih HP dan mengetik, “Sebaiknya kita berlibur ke suatu pulau, hanya berdua tanpa kehadiran orang lain...” bujukku, aku bisu dan hanya benda ini yang membantuku berkomunikasi.

Ryan membalikkan tubuhnya, dia tatap aku dengan mata sayunya kemudian mengecup pipiku dengan lembut, “Aku masih haus dan ingin menyeselaikan lebih banyak projek..”

Aku memainkan kemeja Ryan, menatapnya manja, berharap dia luluh. Jujur, aku lelah... hatiku lelah ketika merenggut banyak nyawa yang tidak bermasalah di dalam kehidupanku, hanya demi profesionalitas aku tersiksa melaksanakan tugas yang tidak bisa diterima hati nuraniku.

Ryan menarik daguku, melumat bibirku dengan mesra, dia tarik pinggangku membuat tubuh kami merapat, aku mendorong dadanya pelan, “Uang kita sudah cukup banyak...” tulisku sambil menatapnya penuh harap.

PRAAK

Ryan menepis Hpku hingga hancur di lantai dan menatapku tajam, “Kenapa? Kau mulai membangkang hm? Ingat, kau tinggal bersamaku ikuti rulesku, kau hanya gembel yang aku pungut empat tahun lalu!! Kau bukan siapa-siapa tanpa aku, jangan pernah berharap kau bisa hidup sesukamu.”

Aku bergidik ngeri, aku hanya bisa tertunduk dan meremas tanganku, Ryan kembali menunduk untuk mengecup bibirku, “Besok aku belikan handphone yang baru, sudah lama kan kau menginginkan xperia C3.”

Aku hanya mengangguk lemah, aku memeluk lehernya dan membiarkannya mencumbuku, saat memejamkan mata aku teringat moment itu...

Saat pertama kali kami bertemu.

I was 16 years old, aku tertidur di emperan jalan, aku merasakan tangan hangat mengusap rambutku, “Tampan...” ucap sebuah suara yang membuat mataku terbuka secara perlahan.

Aku tatap seseorang yang mengenakan setelan rapi dan berkacamata, dia buka kacamatanya menampakan mata coklat yang indah, alis tebal dan senyumnya membuatku terhanyut detik itu juga, lesung pipi yang luar biasa manis.

“Kenapa tidur disini?” tanyanya dengan suara yang terdengar bersahabat.

“Aaa.. auuu enggg...” aku hanya bergumam tidak jelas, aku sentuh leherku, berusaha memberinya isyarat bahwa aku tidak mampu berbicara.

“Kau bisu? Kau gelandangan?” tanyanya. Aku hanya mengangguk, dia tersenyum lagi dan mengecup keningku dengan lembut, “Tinggal lah bersamaku...” saat itulah kami mulai menjalani sebuah hubungan dan hidup bersama.

Ryan selalu mengatakan bahwa dia mencintaiku saat pertama kali melihatku, aku hanya sosok remaja kucel saat itu, jadi aku percaya cinta pada pandangan pertama itu ada, karena aku pun merasakannya.
Tapi secara perlahan aku mengetahui latar belakangnya, awalnya dia hanya membunuh di depan mataku, membuatku ketakutan, tapi selanjutnya dia memberikan pistol padaku, memerintahkanku untuk menembak dan aku terpaksa melakukannya.

Hari demi hari kemampuan menembakku semakin hebat, bahkan melebihi kemampuan Ryan, sehingga dia menjadikanku alat utama di dalam tiap projek kami.

Aku kembali terbayang hari-hari manis yang kami jalani. Dimana kami asik berselfie di depan air mancur, aku mengalungkan tanganku di lehernya dan mengecup pipinya, dengan senyum nakal dia mencipratkan air padaku, aku membalasnya hingga kami sama-sama tertawa, dengan jahilnya dia mendorongku ke kolam, aku berusaha meminta tarikannya tapi justru aku yang menariknya masuk ke dalam kolam air mancur itu, aku menduduki perutnya dan tertawa-tawa dengan suara yang aneh.

Festival gelembung juga membuatku sangat teringat dengannya, dimana suatu taman dipenuhi gelembung sabun dengan berbagai ukuran dan warna, aku dan Ryan asik berlarian menepuki gelembung, kami juga merasakan para gelembung menerpa wajah kami, menghirup aroma sabun dengan mata terpejam dan saat itu lah aku merasakan ada benda lembab menyentuh bibirku, aku tersentak, Ryan sangat berani menciumku di depan umum.

Dia ciuman pertamaku... aku pun terlelap bersama kenangan-kenangan manis itu.

**

SREET...

Suara gorden terbuka membuat kupingku bergerak, mendadak jadi silau aku terpaksa membuka mataku, “Good morning my prince...” bisiknya saat mulai merangkak menindihiku.

Aku tersenyum tipis dan mengecup pipinya, “Hanya pipi? Sisi yang lain juga menginginkan morning kiss...” aku mencubit pinggangnya, membuatnya terkekeh kemudian aku kecup bibirnya singkat, aku belum sikat gigi, tidak PD melumatnya secara berlebihan, saat aku berusaha lari, Ryan kembali menarik pinggangku dan menghempasku di kasur, kami sempat bergulat untuk bercanda beberapa saat hingga akhirnya Ryan kelelahan, “Prince, aku mandi dulu ya... atau kau ingin kita mandi bersama...”

Aku hanya menggeleng dan memeluk tubuhku, memberi isyarat bahwa aku masih kedinginan dan belum siap mandi. Ryan memelukku sekilas sebelum dia pergi ke kamar mandi. Aku kembali menggeliat hikmat, menikmati pagi sejukku ini dengan bermalas-malasan. Sayangnya suara bell mengacaukan segalanya.

Aku berlari dengan cepat menuju pintu, suara bell itu terus berbunyi. Aku buka pintu tadi dengan tergesa-gesa, disana berdiri seorang pemuda langsing dengan rambut pirang, dia tersenyum lembut, “Hei... lu lucu banget, tembem...” ucapnya sambil memainkan pipiku, aku cengok seketika. Aku pergi sebentar untuk mengambil buku dan pulpen untuk berkomunikasi, “Maaf, kamu siapa? Dan mencari siapa?” tulisku.

“Lu pasti Awhal adiknya Ryan kan? Gue Rama, pacarnya Ryan...”

DEG...

Tubuhku seolah membeku seketika, tanganku yang memegang pulpen bergetar, ini bohong kan?! Ryan tidak mungkin memiliki lelaki lain dalam hidupnya, itu bukan Ryan yang aku kenal! Kecupan Rama yang mendarat di pipiku membuatku tersadar dari lamunan, aku memundurkan langkah, “Ngelamun lagi, bikin tambah gemes tau gak... eh cariin kamar buat gue, mulai sekarang gue tinggal disini. Ok?” ucapnya semaunya, aku hanya terdiam dengan air mata mulai menggenang.

Ryan yang hanya menggunakan handuk keluar dari kamar mandi, tatapannya membulat saat melihat kehadiran Rama, “Ngapain kesini?!” bentak Ryan.

Rama memanyunkan bibir dan mencium Ryan, astaga... kenapa bisa sesakit ini.. aku bergetar hebat, tubuhku merinding karena menahan emosi yang menggigil. “Ah sayang kenapa kasar sih? Gue habis di usir dari kosan.. gue tinggal di sini ya?” rayunya sambil bergelayut manja dengan Ryan.

“Lu gak bisa bayar kosan? Nih uang ambil, sekarang balik!” bentak Ryan.

“Gak ah... males, lu anggurin gue mulu sendirian, gue kan kangen... kangen si perkasa ini...” desisnya nakal sambil meremas paha kokoh Ryan. Ryan menatapku dengan tatapan bersalah, kami semua terdiam untuk beberapa saat.

“Oh ya, Ryan. Adek lu ngegemesin ya? Gue suka..” ucap Rama sambil merangkulku, aku hanya terpejam sambil menahan tangis.

“Jangan sentuh dia!” bentak Ryan.

“Ah lu sih pelit...” rajuk Rama. Aku menatap Ryan penuh tanda tanya, dia hanya menganggapku adik. “Whal, cariin kamar gue dong...” pintanya, aku hanya mengangguk lemas sambil menunjukkan sebuah kamar kosong di samping kamar kami.

Aku berjalan untuk memasuki kamar kami, dengan murka aku memukul-mukul dada Ryan.. “Aaaargghhh!!! Aaaah aaaa... gaaahh... haaah akh...” ucapku tak keruan, rasanya aku ingin meneriakkan semua bebanku meskipun lidahku tidak mampu mengucapkan sepatah kata pun. Aku menangis meraung-raung sambil meremas bahunya, aku menenggelamkan wajahku di dadanya. Ryan hanya terdiam pasrah menerima seranganku.

Aku meraih HP Ryan yang ada di meja, aku ketik apa yang ingin aku ucapkan, “Tega kamu Ryan!” tulisku.

“Maaf...” desisnya sambil mengecup tengkukku.

“HANYA MAAF? Putusin dia! Aku gak mau diduakan.”

Ryan mengangkat daguku, membuat pandangan kami bertemu, “Gak sesimple itu. Rama anak mafia besar, saat dia menyukaiku aku hanya bisa mengikuti perintah ayahnya yang pada dasarnya dalang dari segela projek kita.”

“Aku gak Rela Ryan! Aku gak rela!!!”

Ryan menatapku tajam, “Lalu maumu apa? Putus?”

Tangisku semakin pecah mendengar pernyataannya, “Ai au einaiu...”  aku berusaha keras mengucapkan kalimat itu, ‘Tapi aku mencintaimu’ hanya kalimat sederhana saja tidak mampu ditembus lidahku.

“Aku juga mencintaimu Whal..” bahuku menegang ternyata dia mampu mengerti ucapanku, “Maka dari itu bertahanlah... biasakan diri hidup dengan kehadiran Rama...”

Aku menggigit bibirku geram, Tolong aku tidak menginginkan ini. aku sudah lelah menjadi pembunuh berdarah dingin, ditambah semua ini membuatku semakin tidak betah, aku mundur secara perlahan. Aku keluar dari kamar dengan wajah yang tak mencurigakan, setelah berhasil meraih pintu rumah, aku berlari dengan kencang. Tapi aku terkejut, dari atas jendela Ryan melompat lincah, dia melihatku, aku berusaha memasuki gang-gang kecil, terlihat Ryan berlari di atas beton gang itu dan melompat bagaikan pemain parkour saat aku membelokkan langkah, aku terus berusaha mengecohnya dengan tikungan-tikungan tapi akhirnya dia melompat tepat di depanku.

Aku berbalik arah, berusaha berlari tadi dia tangkap pinggangku, menghempasku di dinding beton itu dan menekan tubuhku, dia menodongkan sebilah pisau tajam di leherku, “Kau sudah berani bermain-main denganku hm? Jangan harap kau bisa lepas dari jeratanku, semakin kau melawan, semakin aku membuatmu tersiksa.” Ancamnya dengan nada tajam.

Ryan menjambak rambut ikalku, menyeretku kembali ke rumah, aku hanya bisa terisak.

Tatapan hangatnya kini hilang, dia hanya terobsesi memilikiku, tapi tidak lagi menjagaku. Sesampainya di rumah, Rama menyambut kami, “Hei dari mana aja?”

“Habis main lari-larian tadi..” ucap Ryan sambil tersenyum, dikecupnya bibir Rama di depan mataku sendiri. Aku meringis pedih, tega... tegaa!!! Saat air mata mulai menggenang aku berusaha menjauhi mereka, aku tidak sanggup, “Heh siapa yang nyuruh pergi? Sekarang masak untuk kami!” bentak Ryan, seolah membentak seekor anjing. Aku hanya mengangguk lemah, pergi dengan tatapan terluka.

**

Selesai sarapan, aku hanya bisa terbaring di kamar, terbaring sambil menangis semua itu melelahkan dan membuatku tertidur cukup lelap. Tapi sesuatu yang terjatuh di wajahku membuatku terkejut, kotak HP? “Sony xperia C3 seperti janjiku semalam. Lanjutkan tulisan-tulisanmu..”  hanya itu yang Ryan ucapkan dan meninggalkanku kembali, aku bisa mendengar dari luar suara mereka yang bercengkrama akrab, terdengar bahagia. Aku hanya bisa meringkuk disini, mengungkapkan kata-kata hatiku di dalam aplikasi handphone.

Rasanya kebas, kupingku mendadak berdengung, mataku kabur karena genangan air mata, aku hanya bisa meremas dada yang terasa nyeri, lebih nyeri lagi saat aku nekat menghintip mereka yang duduk asik di ruang TV, mereka berciuman mesra, aku menutup mulutku yang nyaris menggerang histeris, Tuhan... apa aku sanggup menampung segala rasa sakit ini? nafasku sesak, atmosfer rasanya berubah total...

Bibir itu milikku bukan? Senyum itu milikku, jari itu milikku, tubuh itu milikku bahkan hati itu seharusnya milikku. Kenapa sekarang Rama yang menjamah semuanya? Aku menggigil sambil menggigit tanganku saat aku mendengar mereka mulai merintih dan bercinta di sofa itu, ingusku semakin penuh, rasanya aku tidak mampu bernafas.

Aku merangkak secara perlahan dengan air mata yang mengalir membasahi lantai, aku berlari ke kamar mandi mencuci mukaku, rasanya kepalaku sangat sakit karena terlalu banyak menangis hari ini.

Aku kembali merangkak ke tempat tidur, menarik selimut dan mendekap guling dengan hangat. Tuhan, hanya satu doaku, hilangkan segala rasa sakit ini, beri aku kekuatan.

**

Basah... hangat... geli... apa aku bermimpi? Kenapa aku merasakan tiga hal itu menyapu leherku, saat aku membuka mata aku tersentak, “Aaaakh!!” erangku, aku hanya bisa berteriak tak jelas saat menyadari kini Rama menindih tubuhku.

“Hai manis, lu udah bangun...” bisiknya sambil menjilat kupingku, aku berusaha menggerak-gerakkan wajah menghindari ciumannya, “Lu itu manis banget ya, pantesan Ryan tergila-gila dan gak mau mutusin lu.”

Aku terkejut, jadi Rama sudah mengetahui hubungan kami, “Entahlah.. gue bingung harus anggap lu saingan atau apa, yang pasti gue terangsang sama lu..” Rama melumat bibirku dengan ganas, apa dia seorang vers? Entahlah... yang pasti aku memberontak sebisa mungkin.

“Bagaimana rasanya Whal sakit hati? Pasti gak enak ya... tapi sangat menarik membuat matamu basah, apa kau tau tubuh Ryan sangat sexy, dia pria yang sangat perkasa dan candu buatku. Asal lu tau, gue bakal milikin dia seutuhnya. Lu punya dua pilihan, gue singkirin atau menyingkir dengan sendirinya. “Aaaakh!!” aku hanya berteriak tak keruan.

Kreaak...

Tuhan, syukurlah pintu terbuka, wajahku terasa sangat girang saat itu. Ryan masuk, “Ada apa ini?” tanyanya terkejut.

Rama langsung melompat dari tubuhku, dia langsung memeluk Ryan manja, “Tolong gue Ryan, tadi Awhal nyerang gue, terpaksa gue serang balik dia makanya tadi gue tindihin dia.”

Fitnah! Dasar keparat! Aku berusaha menatap Ryan dengan mata sedih, ini tidak benar Ryan kau percaya aku kan?! Ryan menatapku teduh, aku rasa dia pun percaya aku. Tapi Rama yang licik itu terus bergelayut manja, membuat dadaku panas, “Lu usir dia sekarang atau gue kirim pasukan buat habisi kalian berdua?’’ ancam Rama. Aku menatap shock, aku menggeleng, Ryan juga terlihat berat tapi dia mencengram tanganku, menyeretku keluar, aku terus memukul-mukul tangannya, aku menggerang-gerang berusaha meyakinkannya bahwa disini aku tidak ingin berpisah darinya, tolonglah... apapun yang dia lakukan aku rela, berselingkuh, bercumbu, bercinta aku sudah tidak perduli lagi, aku hanya menginginkan Ryanku yang hangat mendekapku setiap malam, menciumku setiap pagi dan menghirup aromanya yang menenangkan.

Tapi pintu rumah itu tertutup rapat, aku hanya bisa meraung tak keruan di depan pintu, bagaimana lagi aku menemukan jalanku? Ryan ini bukan pilihan yang tepat, aku lebih suka mati bersamamu dibunuh para mafia itu dari pada harus kesakitan sendiri. Mataku kabur, aku meremas wajahku yang semakin kacau karena tangisan lukaku.

Dengan perlahan aku mundur menjauhi pagar, aku berjalan mundur dengan bodohnya, terdengar suara klakson mobil maupun teriakan orang-orang...

BRAAK!!!

Semua itu hanya sekejab, aku tidak bisa merasakan apapun saat tubuhku dihantam sebuah truk, terseret kemudian terlempar di trotoar, aku mulai mengantuk, tubuhku terasa ngilu dan tidak mampu aku gerakkan, samar-samar terdengar suara yang sangat familiar, “Aku mencintaimu... tolong siapapun tolong!!!” itu suara terakhir yang aku dengar hingga kupingku mendengung, semua terasa kebas dan mataku tertutup.

END

No comments:

Post a Comment