Medsos (CERPEN)
BY: Yanz
-Reza POV-
Aku menutup kupingku kesal dengan guling. Dasar Ajun
menyebalkan! Bisa-bisanya dia bermain game sampai tengah malam begini, aku
semakin frustasi dan ingin meledak hingga aku lempar dia dengan guling,
“Berisik!!!” bentakku murka.
“Apaan sih... Rese banget jadi orang...” respon Ajun dengan
nada ketus sedangkan matanya masih fokus pada monitor.
“Hiiih nyebelin banget sih jadi orang! Ini udah tengah
malam! Aku mau tidur! Pake headphone kek atau di-mute aja kek suaranya. Ganggu
tau!!” cerocosku panjang lebar tapi dia malah mengabaikanku. Aku yang kesal
mulai mendatanginya dan menjambak rambutnya.
“Yaaah yaaah ah mati kan gue! Errrrrg... nyebelin banget
lo!” setelah itu kami malah berantem besar dan maki-makian.
Sebelum aku menceritakan kehidupan kami lebih jauh, ada
baiknya kalian ketahui dulu siapa kami. Aku Reza Arga sedangkan dia suamiku
Arjuna atau biasa dipanggil Ajun. Kami adalah net couple idol atau selebgram,
artis dunia maya atau apalah lagi sebutannya. Jadi kami ini memiliki ratusan
ribu follower instagram bahkan Ajun nyaris satu juta karena dia lebih narsis
dariku apalagi body-nya bagus dibandingkan aku yang kurus. Semua orang tau kami
pasangan yang sempurna, dimana Ajun seme tinggi 182 cm dengan badan langsing
berotot, alis tebal, wajah maskulin dan tampan, aku yang kata orang baby face,
body kecil kaya cewek dengan tinggi Cuma 168 cm sampai-sampai Ajun bisa dengan
mudah menggendongku kemudian melemparku kalau dia marah.
Kami sering memamerkan kemesraan di sosmed, berupa foto
narsis kami dalam aktifitas maupun video kami saat bercumbu. Apa semua itu
terliat mudah kalau di Indonesia? Tentu aja enggak, Ajun berjuang keras
memblokir ribuan haters atau homophobic dan membuat instagram kami privat jadi
sekilas yang terlihat semua orang mencintai kami.
Sayangnya kesempurnaan yang orang-orang lihat itu palsu,
hanya pencitraan. Kenyataannya kami pasangan yang kacau, sering cekcok bahkan
Ajun kadang gak segan main tangan. Lalu kenapa kami bertahan? Aku pribadi pengen
banget nyerah, udah gak sanggup dengan hubungan tiga tahun sama monster kaya
gini, tapi Ajun selalu memaksaku bertahan. Ya alasannya karena popularitas, dia
gila popularitas, awalnya aku juga tapi akhir-akhir ini mulai muak, terus
alasan lebih kuat lagi ya endorse (Hadiah gratis dari suatu olshop supaya kami
mau mempromosikan produk mereka), banyak iklan juga, bahkan kami mulai jadi
model di dunia nyata dan juga diundang berbagai acara tv untuk show mereka.
Intinya popularitas kami mulai menghasilkan uang dan hal itu seolah kontrak
hidup yang gak bisa dilepas begitu aja.
Tapi semua ini gak sepenuhnya pencitraan, awalnya sih. Seperti
kisah cinta mainstream kebanyakan, pertemuan kami diawali ketika aku menjadi
mahasiswa baru dan diospek oleh para panitia yang galak, Ajun salah satu dari
mereka. Karena hari itu aku gak terlalu memperhatikan arahan jadinya aku gak
membawa atribut ospek seperti tas dari karung, topi kertas dan papan nama, Cuma
baju hitam putih dan tas selempang, langsung lah aku jadi sasaran empuk para
senior galak. “Heh maba! Lo gak bawa atribut yang kemaren udah diperintahkan
hah?” bentak Ajun yang di-iya-kan oleh kawan-kawannya.
Aku hanya memasang wajah tanpa dosa dan mengangkat bahu,
“Lupa..” jawabku santai, padahal aku aja males hehe..
Tanpa izin dariku mereka malah menggeledah tasku, “Pomade,
handbody, parfum, bedak dan pengharum nafas. Rempong amat lo, lo ini mahasiswa
atau artis hah? Jadi artis aja lo sana!” bentak Ajun yang seolah menjadi
kutukan karena sekarang aku beneran jadi artis lol
Gak hanya dipermalukan sampai disitu, rupanya aku masih
harus dihukum lari keliling lapangan yang super besar itu sebanyak 10x,
sekarang memang baru jam 8, tapi jam 8 di zaman sekarang ini sudah sangat
panas. Aku lari dengan kringat berkucuran dan juga nafas yang nyaris habis,
perlu kalian tau kalau fisikku ini lemah. Entah ini mitos atau bagaimana
katanya orang putih itu cenderung lebih lemah dari pada orang yang kulit hitam,
bawaan genetik katanya. Dan benar saja, aku terjatuh karena kehabisan tenaga,
nafasku sesak dan rasanya mau pingsan. Aku masih sadar memang tapi pandanganku
berkunang-kunang dan aku memejamkan mata seolah pingsan. Samar-samar aku lihat
para senior berlarian dan seorang cowok besar yang beraroma maskulin
menggendongku sigap dan berlari membawaku ke ruang kesehatan.
Saat kesadaranku pulih total, aku menyadari rupanya orang
yang membawaku tadi Ajun, dia mengompres badanku yang sudah gak pakai baju
lagi, kulitku merah-merah dan badanku lemas rasanya. Tapi saat aku melihat Ajun
dadaku langsung bergemuruh kencang, dia lembut sekali memperlakukanku, wajahnya
juga sangat tampan, apa ini yang dinamakan cinta pada pandangan pertama?
“Eh Lo, udah sadar rupanya..” ucapnya ketika menyadari aku
yang menatapnya lekat.
Aku sok santai dan tersenyum walaupun sebenarnya sangat
berdebar, “Hehe iya, oh ya namamu siapa? Kamu ganteng juga.” Aku tergolong
orang yang memiliki percaya diri yang tinggi untuk mendekati orang lain karena
aku tau gak ada yang bisa menolak pesonaku.
Dia menaikkan satu keningnya kemudian menjitakku pelan,
“Dasar lo junior ga tau sopan santun, panggil kakak kek.”
“Gak mau ah... Lagian belum tentu aku yang lebih muda, aku
kan begitu lulus SMA gak langsung kuliah, kerja dulu beberapa tahun. Aku
kelahiran 1992, kamu sendiri?”
“Masa sih? Gak percaya ah, dari look aja kamu itu kaya bocah
kelahiran 1998 tau gak ahaha...” ejek Ajun sambil tertawa gelak. Aku langsung
menggembungkan pipi.
“Enak aja! Nih lihat ktp-ku kalau gak percaya! Heh kamu
sendiri gak jawab pertanyaanku, kelahiran berapa?”
Ajun menggaruk kepalanya saat melihat Ktp-ku, “Okay okay gue
lebih muda, gue kelahiran 1993.”
Senyumku langsung mengembang, “Hahaha nah siapa yang harus
manggil kakak coba!”
Ajun langsung memasang wajah malas, “Ogah, siapa juga yang
mau manggil kakak sama cowok muka bocah ahaha... Lagian diliat dari mana pun
gue lebih besar!” kami pun malah asik bercanda di ruang kesehatan itu.
Gak susah sih dapatin Ajun, dia mengirim signal kuat yang
sama denganku, walaupun pdkt cukup lama yaitu 3 bulan dengan hati yang ditarik
ulur akhirnya dia menembakku, dua bulan kemudian kami putus karena berantem
hebat sama masalah sepele yaaa hanya masalah prinsip hidup, disaat putus itu
kami tersiksa karena merasa kehilangan satu sama lain, otak sih nolak karena
gengsi, ketemu di kampus pun seolah gak pernah saling kenal. Tapi rupanya Ajun
hanya sanggup 2 minggu, dia malah datang kembali dengan membawa sepasang
cincin, dia melamarku. Katanya dia sudah introfeksi diri, menyesali
perbuatannya, dia sangat mencintaiku meskipun dia tau aku menyebalkan, aku juga
tidak bisa menepis kenyataan kalau aku sangat mencintai pemuda yang kadang
keras dan kadang lembut ini.
Kami pun menikah tanpa memberitahukan siapapun awalnya,
tinggal satu kosan. Suatu hari aku iseng membuat instagram, memposting
foto-foto narsisku kadang kebersamaanku dengan Ajun juga tapi diluar dugaan
dapat banyak follower dari orang asing entah dari mana, awalnya pujian-pujian
karena kami sangat good looking, aslinya emang udah cakep apalagi ditambah
filter c360 kan makin perfect hehe... Ajun yang tau soal intagram juga ikutan
bikin, aku promosikan akunnya. Awalnya permainan sosmed ini normal aja sih,
hanya mengisi waktu luang kalau lagi kosong. Tapi lama-kelamaan kok kayanya
jadi prioritas, kaya badan ini nuntut harus posting dan berinteraksi setiap
hari. Lambat laun kami jadi kecanduan sama permainan ini, dapat banyak pujian
itu ternyata menyenangkan. Di dunia nyata aku dan Ajun bersenang-senang dengan
hobi hangout kami, dan di dunia maya orang-orang juga menikmati kebersamaan
kami tanpa kami sadar secara perlahan hal ini lah yang menciptakan neraka kecil
dalam rumah tangga kami.
-0-0-
“Eerghh... ah sakit...” secara perlahan aku sadar dari
tidurku karena merasa ada beban berat di atasku dan bergerak agresif untuk
‘menyerangku’ saat membuka mata rupanya Ajun sedang menyetubuhi aku yang sedang
tertidur. Aku mendorongnya, “Ngantuk ah.. jangan ganggu!” tapi dia justru
menciumi leherku dengan ganas.
Aku mencoba mendorongnya lebih keras, aku tatap dia dingin,
“Kamu makin lama makin keterlaluan ya. Kamu udah ga bisa lagi hargain aku, aku
lagi tidur aja kamu serang, bukannya minta izin dulu, cumbu aku atau bikin aku
nyaman. Tapi kamu sekarang Cuma mikirin kepuasan kamu sendiri, kamu pernah gak
sih mikirin posisi aku juga?”
“Reza, kamu aja yang terlalu sensitif. Aku sengaja gak
bangunin karena aku tau kamu capek kemaren pemotretan di luar kota seharian.”
Jawabnya sambil turun dari badanku.
“Udah tau aku capek dan tidur kenapa kamu masih aja lakuin!”
Dia menggerang kesal dan meremas rambutnya, “Yaa karena aku
suami kamu! Karena aku butuh asupan biologis dari pasangan aku! Cuma itu. Sadar
gak sih kita udah gak main selama dua bulan! Kamu selalu nyari alasan buat gak
layanin aku. Kenapa sih Rez? Apa yang salah sama kamu hah? Atau kamu udah ada
yang lain Rez?”
Mataku berkaca-kaca, “Oh jadi kamu pikir aku orang kaya gitu
Jun?”
“Udah ah capek berantem, kamu doang terlalu baperan. Aku tuh
mau bikin simple aja tadi tapi masih aja kamu bikin ribet.” Ajun tidur
membelakangiku dan menarik selimutnya.
Perlahan mataku basah, udah gak cocok... Aku dan dia memang
sudah gak cocok. Capek, makan hati, bosan sama hubungan yang setiap hari Cuma
bisa bikin sedih. Aku menatap punggung telanjangnya itu, entah apa yang salah
dengan otakku? Aku bahkan sudah tidak bergairah lagi dengannya, mungkin karena
pertengkaran-pertengkaran kami ini rasa cintanya jadi pudar?
Tapi menyerah juga ga mungkin kan, kami masih saling
membutuhkan. Apa sebaiknya aku perbaiki keadaan? Umm ya, cobalah Reza. Ayolah
belajar mengalah, bukannya kalian sudah bukan remaja labil lagi?
Aku mulai menyentuh punggung Ajun, aku merapatkan badan,
kutempelkan wajahku pada tengkuknya, tanganku juga merayap perlahan melingkari
pinggangnya, “Maaf... Ayo kita perbaiki Jun.. aku kangen kamu, aku kangen
hubungan kita yang dulu.”
Secara perlahan dia membalikkan badan, dia mengecup dagu dan
pipiku “Aku juga minta maaf sudah kekanakan sayang, aku mencintaimu.” Dia
mendekapku dengan lembut, aku terpejam dan sangat menikmati kehangatannya,
jantungku berdegup kencang seolah cintaku perlahan hidup kembali.
“Aku juga mencintaimu Jun...” aku mengecup dagunya yang
kasar, kami tersenyum, mulai mengecup dan melepas membuat suara kecupan yang
lucu, aku gemas dan melumat bibirnya, kami berpangutan, tangannya yang nakal
itu meremas bokongku, aku tertawa pelan. Untuk sesaat kami terdiam dan saling
tatap, “Aku baru sadar cintaku sebesar ini Jun...” desisku pelan sambil
membenamkan wajahku di lehernya. Dia mengusap kepalaku dengan lembut, aku
merasa sangat nyaman hingga tertidur kembali.
-0-00-
Kami berdua duduk di suatu cafe untuk menyantap makan siang.
Aku hanya mengaduk-aduk spageti dengan tidak bergairah, tatapanku juga kosong
karena aku melamun. Tadi pagi aku mengalami sesuatu yang tidak mengenakkan,
terbangun oleh pesan dari nomer asing yang isinya ‘Selamat pagi sayang, wajahmu
ketika tidur begitu indah.’ Awalnya kupikir Ajun, tapi sangat gak masuk akal
dia yang tidur di sampingku malah mengirimiku pesan lagi pula dia masih tidur
ngorok. Waktu dia bangun dan aku tanya perihal pesan, Ajun gak tau dan
menanggapi santai dengan mengira itu orang iseng. Gak lama pesan itu datang
lagi, isinya ‘Kado manis untuk Rezaku yang manis di hari senin ini. Aku
letakkan di depan pintu.’
Aku langsung berlari ke depan pintu, benar saja ada kotak
yang cukup besar dan ketika aku buka aku langsung berteriak histeris,
“Aaaaarghhh Ajunnnn Junnn tolong aaargghh...” aku langsung terjatuh di lantai
dan menangis histeris.
“Sayang ada apa!” Ajun memelukku erat.
“Jun... eergghhh itu Rasya... hikkh kucing kita Jun, kucing
kita dibunuh!” Ajun pun shock melihat kucing putih persia kami berlimbahan
darah di dalam kotak tadi, aku juga menjelaskan tentang sms-sms dan kado itu.
Ajun langsung menyuruhku ganti kartu, dia berusaha menenangkanku sekuat mungkin
dan mengubur Rasya di belakang rumah. Oh ya kami sudah bisa membeli rumah
sendiri setelah menabung dua tahun karena pekerjaan kami yang macam-macam.
Kembali ke Cafe, Ajun menepuk lembut tanganku berusaha
menenangkan aku yang tadinya melamun, “Ayo makan, baby kita perlu asupan
nutrisi...” ucapnya bercanda sambil mengusap perutku, aku memerah.
Tapi Ajun kali ini bersikap menyebalkan, dia memotret
makanan-makanan kami sebelum dimakan kemudian dia mengambil puluhan selfie,
berusaha mengambil angle terbaik, sedangkan aku yang tidak bergairah hanya
membuang muka ketika diajaknya berfoto. Ajun mulai mengopload foto tadi ke
instagram sambil mengeja captionnya, “Lagi di Cafe kiss bersama istriku yang
paling cantik, dia lagi galau jadi jangan diganggu hehe...” aku baru menyadari
sindromnya ini menggelikan juga, dia bermain gadjet dan tersenyum sendiri di
tempat umum begini, orang-orang pasti menilai aneh.
Kemudian mataku membulat saat menyadari sesuatu, “Hapus Jun
hapus!”
Ajun mengerutkan kening, “Kenapa sih?”
“Kamu baru aja ngasih tau posisi kita, sama aja kamu
ngundang penjahat itu datang kemari!!!”
Ajun menepuk bahuku lembut, “Udahlah sayang, jangan terlalu
dipikirin. Itu Cuma orang iseng aja.”
“Iseng apanya! Dia udah bunuh Rasya!”
Ajun mencubit pipiku gemas, “Nanti aku beliin kucing baru
ya...”
“Jun, Rasya itu udah kaya anak kita sendiri! Kita rawat
waktu dia masih bayi banget sampai tua kaya sekarang dan orang itu udah bunuh
anak kita! Bisa aja besok-besok dia ancam keselamatan kita. Jun...” rengekku.
Ajun mengusap kepalaku dengan lembut, “Yaudah aku edit
captionnya demi kamu.”
“Fotonya juga dihapus! Dari backgroundnya nanti ketahuan
posisi kita dimana.”
Ajun mendesah berat dan mengangguk-angguk. Aku sendiri
bahkan sudah tidak memegang gadjet lagi selama berjam-jam, Ajun tubuhnya saja
disini tapi jiwanya di dunia maya. Aku mulai bete dan menggebrak meja, tapi ada
segerombolan gadis datang menimbrungi kami, para fujoshi yang kebetulan lewat
segera meminta foto bareng, mungkin mereka sempat melihat postingan Ajun tadi.
Aku awalnya menolak karena moodku yang jelek, tapi Ajun mencubitku, dia ga mau
kalau sampai image kami dianggap sombong, dengan wajah datar terpaksa aku
meladeni mereka.
“Kubilang apa Jun, terlalu aktif mempublikasikan posisi dan
kegiatan kita itu bisa bikin orang tau keberadaan kita!”
“Come on, mereka itu Cuma fans..”
“Tapi kamu gak tau kan kalau nanti bisa aja ada penguntit
jahat juga!”
Ajun menepuk wajahnya frustasi, “Gak baik kita keliatan
berantem di tempat umum, cepat kamu habiskan makanannya dan kita bicarakan di
mobil.”
“Aku ga nafsu makan.”
“Yaudah...” Ajun menyeret tanganku dengan kasar. Kami pun
terduduk di mobil dalam keheningan.
“Kamu tuh bisa gak hilangin kebiasaan kamu yang terlalu
sensitif dan over drama itu. Lama-lama ngegangu tau gak.” Protes Ajun.
“Apa, aku ngeganggu? Kamu gak ngaca hah! Kamu selfie selfie
di tempat umum, cekikikan main hp sendirian sedangkan istri kamu di samping
diabaikan. Gak waras tau gak Jun.”
“Haaah di zaman ini hal kaya gitu udah biasa! Kamu juga ga
ngaca, kamu sendiri kan awalnya yang pecandu medsos!”
Aku meremas wajahku, kemudian menggenggam tangannya, “Iya
Jun, aku akui aku salah. Kita sudahi ya... Kita coba kehidupan baru Jun, ya
suamiku yang ganteng... please lepas medsosnya. Kita coba kehidupan baru, yang
normal, yang lebih sehat. Kita coba lebih menutup privasy kita, berhenti
mengumbarnya di dunia maya. Aku mau hidup normal kaya dulu Jun...”
Ajun hanya menggeleng dalam diam kemudian mengganti topik,
“Heemmh... bukannya kita ada pemotretan majalah bentar lagi, ayok jalan...” dia
menghidupkan mobilnya dan aku hanya bisa bernafas berat.
Kami terdiam sepanjang jalan, mendadak instingku bereaksi.
Dengan cepat aku menoleh ke belakang, melirik tumpukan pakaian dan keperluan
kami yang berantakan di kursi belakang jangan-jangan penguntit itu bersembunyi
di balik tumpukan besar itu, “Jun penguntit itu gak masuk mobil kan?”
“Udahlah Reza, kamu kebanyakan halusinasi.”
“Jun!! Kamu harus dengerin aku sekali-kali!” Ajun pun
terpaksa menghentikan mobil kemudian membongkar isi mobil.
“See? Gak ada apa-apa, ini Cuma pakaian, sepatu dan... eww
ada pizza basi juga.”
Haah... apa benar ya kata Ajun kalau aku terlalu sensitif?
Akhir-akhir ini paranoidku semakin parah. Aku merasa seolah dikuntit setiap
saat, aku jadi suka menoleh secara mendadak mencoba memastikan keadaan, kadang
kalau berbelanja sambil jalan kaki aku berlari ketakutan karena merasa dikuntit
penjahat itu. Rumahku pun rasanya gak aman, sampai-sampai aku menutup semua
lubang supaya penguntit itu gak punya kesempatan mengintip, semua jendela dan
pintu aku kunci banyak-banyak.
Sialnya Ajun kadang dapat job sendirian dan meninggalkanku
di rumah lebih sering, aku gak berani kemana-mana kalau sudah sendirian. Cuma
menonton tv supaya rumah ini terlihat lebih ramai. Sepertinya kami memang perlu
mengadopsi anak supaya rumah ini lebih hidup.
Ujung mataku langsung bergerak cepat saat mendengar suara
berisik dari belakang rumah, jangan-jangan ada penyusup!!!
Dengan cepat aku mengambil pedang yang menjadi hiasan di dinding.
Aku berjalan menjinjit ke arah belakang, suara dobrakan itu membuatku bergetar
ketakutan. Ajun aku takut... cepat pulang!!!
Aku bersembunyi di samping kulkas, terdengar suara pintu
rusak dan berhasil dibobol, astaga! Bagaimana ini?! Aku harus menelepon Ajun!
Tapi aku lagi gak bawa HP, telpon rumah juga ada di depan sana kalau aku
berjalan kesana penguntit itu bisa menyadari gerakanku. Gak, aku bersembunyi
saja dulu hingga keadaan memungkinkan. Terdengar suara pintu terbuka, langkah
kaki yang mendekat.. aku menangis deras sambil menggigit tanganku agar tidak
mengeluarkan suara.
Penjahat itu semakin dekat kearahku, rasanya nafasku mau
habis... begitu dia ada di depanku tanpa ampun aku menebas-nebasnya, memberikan
tusukan dan serangan hingga orang itu tersungkur, saking takutnya aku bahkan
tidak bisa melihat orang itu, aku berlari nyaris terpeleset karena lantai yang
banjir darah, dia sudah tidak bergerak pasti mati. Waktunya aku menghubungi
Ajun, dengan tangan bergetar aku memencet nomor teleponnya, kemudian suara
dering keras itu terdengar di kantong baju orang yang aku bunuh tadi.
TAMAT
Adakah yang bisa menyimpulkan isi cerita?
No comments:
Post a Comment