Saturday, February 6, 2016

Medsos (CERPEN)



Medsos (CERPEN)

BY: Yanz

-Reza POV-

Aku menutup kupingku kesal dengan guling. Dasar Ajun menyebalkan! Bisa-bisanya dia bermain game sampai tengah malam begini, aku semakin frustasi dan ingin meledak hingga aku lempar dia dengan guling, “Berisik!!!” bentakku murka.

“Apaan sih... Rese banget jadi orang...” respon Ajun dengan nada ketus sedangkan matanya masih fokus pada monitor.


“Hiiih nyebelin banget sih jadi orang! Ini udah tengah malam! Aku mau tidur! Pake headphone kek atau di-mute aja kek suaranya. Ganggu tau!!” cerocosku panjang lebar tapi dia malah mengabaikanku. Aku yang kesal mulai mendatanginya dan menjambak rambutnya.

“Yaaah yaaah ah mati kan gue! Errrrrg... nyebelin banget lo!” setelah itu kami malah berantem besar dan maki-makian.

Sebelum aku menceritakan kehidupan kami lebih jauh, ada baiknya kalian ketahui dulu siapa kami. Aku Reza Arga sedangkan dia suamiku Arjuna atau biasa dipanggil Ajun. Kami adalah net couple idol atau selebgram, artis dunia maya atau apalah lagi sebutannya. Jadi kami ini memiliki ratusan ribu follower instagram bahkan Ajun nyaris satu juta karena dia lebih narsis dariku apalagi body-nya bagus dibandingkan aku yang kurus. Semua orang tau kami pasangan yang sempurna, dimana Ajun seme tinggi 182 cm dengan badan langsing berotot, alis tebal, wajah maskulin dan tampan, aku yang kata orang baby face, body kecil kaya cewek dengan tinggi Cuma 168 cm sampai-sampai Ajun bisa dengan mudah menggendongku kemudian melemparku kalau dia marah.

Kami sering memamerkan kemesraan di sosmed, berupa foto narsis kami dalam aktifitas maupun video kami saat bercumbu. Apa semua itu terliat mudah kalau di Indonesia? Tentu aja enggak, Ajun berjuang keras memblokir ribuan haters atau homophobic dan membuat instagram kami privat jadi sekilas yang terlihat semua orang mencintai kami.

Sayangnya kesempurnaan yang orang-orang lihat itu palsu, hanya pencitraan. Kenyataannya kami pasangan yang kacau, sering cekcok bahkan Ajun kadang gak segan main tangan. Lalu kenapa kami bertahan? Aku pribadi pengen banget nyerah, udah gak sanggup dengan hubungan tiga tahun sama monster kaya gini, tapi Ajun selalu memaksaku bertahan. Ya alasannya karena popularitas, dia gila popularitas, awalnya aku juga tapi akhir-akhir ini mulai muak, terus alasan lebih kuat lagi ya endorse (Hadiah gratis dari suatu olshop supaya kami mau mempromosikan produk mereka), banyak iklan juga, bahkan kami mulai jadi model di dunia nyata dan juga diundang berbagai acara tv untuk show mereka. Intinya popularitas kami mulai menghasilkan uang dan hal itu seolah kontrak hidup yang gak bisa dilepas begitu aja.

Tapi semua ini gak sepenuhnya pencitraan, awalnya sih. Seperti kisah cinta mainstream kebanyakan, pertemuan kami diawali ketika aku menjadi mahasiswa baru dan diospek oleh para panitia yang galak, Ajun salah satu dari mereka. Karena hari itu aku gak terlalu memperhatikan arahan jadinya aku gak membawa atribut ospek seperti tas dari karung, topi kertas dan papan nama, Cuma baju hitam putih dan tas selempang, langsung lah aku jadi sasaran empuk para senior galak. “Heh maba! Lo gak bawa atribut yang kemaren udah diperintahkan hah?” bentak Ajun yang di-iya-kan oleh kawan-kawannya.

Aku hanya memasang wajah tanpa dosa dan mengangkat bahu, “Lupa..” jawabku santai, padahal aku aja males hehe..

Tanpa izin dariku mereka malah menggeledah tasku, “Pomade, handbody, parfum, bedak dan pengharum nafas. Rempong amat lo, lo ini mahasiswa atau artis hah? Jadi artis aja lo sana!” bentak Ajun yang seolah menjadi kutukan karena sekarang aku beneran jadi artis lol

Gak hanya dipermalukan sampai disitu, rupanya aku masih harus dihukum lari keliling lapangan yang super besar itu sebanyak 10x, sekarang memang baru jam 8, tapi jam 8 di zaman sekarang ini sudah sangat panas. Aku lari dengan kringat berkucuran dan juga nafas yang nyaris habis, perlu kalian tau kalau fisikku ini lemah. Entah ini mitos atau bagaimana katanya orang putih itu cenderung lebih lemah dari pada orang yang kulit hitam, bawaan genetik katanya. Dan benar saja, aku terjatuh karena kehabisan tenaga, nafasku sesak dan rasanya mau pingsan. Aku masih sadar memang tapi pandanganku berkunang-kunang dan aku memejamkan mata seolah pingsan. Samar-samar aku lihat para senior berlarian dan seorang cowok besar yang beraroma maskulin menggendongku sigap dan berlari membawaku ke ruang kesehatan.

Saat kesadaranku pulih total, aku menyadari rupanya orang yang membawaku tadi Ajun, dia mengompres badanku yang sudah gak pakai baju lagi, kulitku merah-merah dan badanku lemas rasanya. Tapi saat aku melihat Ajun dadaku langsung bergemuruh kencang, dia lembut sekali memperlakukanku, wajahnya juga sangat tampan, apa ini yang dinamakan cinta pada pandangan pertama?

“Eh Lo, udah sadar rupanya..” ucapnya ketika menyadari aku yang menatapnya lekat.

Aku sok santai dan tersenyum walaupun sebenarnya sangat berdebar, “Hehe iya, oh ya namamu siapa? Kamu ganteng juga.” Aku tergolong orang yang memiliki percaya diri yang tinggi untuk mendekati orang lain karena aku tau gak ada yang bisa menolak pesonaku.

Dia menaikkan satu keningnya kemudian menjitakku pelan, “Dasar lo junior ga tau sopan santun, panggil kakak kek.”

“Gak mau ah... Lagian belum tentu aku yang lebih muda, aku kan begitu lulus SMA gak langsung kuliah, kerja dulu beberapa tahun. Aku kelahiran 1992, kamu sendiri?”

“Masa sih? Gak percaya ah, dari look aja kamu itu kaya bocah kelahiran 1998 tau gak ahaha...” ejek Ajun sambil tertawa gelak. Aku langsung menggembungkan pipi.

“Enak aja! Nih lihat ktp-ku kalau gak percaya! Heh kamu sendiri gak jawab pertanyaanku, kelahiran berapa?”

Ajun menggaruk kepalanya saat melihat Ktp-ku, “Okay okay gue lebih muda, gue kelahiran 1993.”

Senyumku langsung mengembang, “Hahaha nah siapa yang harus manggil kakak coba!”

Ajun langsung memasang wajah malas, “Ogah, siapa juga yang mau manggil kakak sama cowok muka bocah ahaha... Lagian diliat dari mana pun gue lebih besar!” kami pun malah asik bercanda di ruang kesehatan itu.

Gak susah sih dapatin Ajun, dia mengirim signal kuat yang sama denganku, walaupun pdkt cukup lama yaitu 3 bulan dengan hati yang ditarik ulur akhirnya dia menembakku, dua bulan kemudian kami putus karena berantem hebat sama masalah sepele yaaa hanya masalah prinsip hidup, disaat putus itu kami tersiksa karena merasa kehilangan satu sama lain, otak sih nolak karena gengsi, ketemu di kampus pun seolah gak pernah saling kenal. Tapi rupanya Ajun hanya sanggup 2 minggu, dia malah datang kembali dengan membawa sepasang cincin, dia melamarku. Katanya dia sudah introfeksi diri, menyesali perbuatannya, dia sangat mencintaiku meskipun dia tau aku menyebalkan, aku juga tidak bisa menepis kenyataan kalau aku sangat mencintai pemuda yang kadang keras dan kadang lembut ini.

Kami pun menikah tanpa memberitahukan siapapun awalnya, tinggal satu kosan. Suatu hari aku iseng membuat instagram, memposting foto-foto narsisku kadang kebersamaanku dengan Ajun juga tapi diluar dugaan dapat banyak follower dari orang asing entah dari mana, awalnya pujian-pujian karena kami sangat good looking, aslinya emang udah cakep apalagi ditambah filter c360 kan makin perfect hehe... Ajun yang tau soal intagram juga ikutan bikin, aku promosikan akunnya. Awalnya permainan sosmed ini normal aja sih, hanya mengisi waktu luang kalau lagi kosong. Tapi lama-kelamaan kok kayanya jadi prioritas, kaya badan ini nuntut harus posting dan berinteraksi setiap hari. Lambat laun kami jadi kecanduan sama permainan ini, dapat banyak pujian itu ternyata menyenangkan. Di dunia nyata aku dan Ajun bersenang-senang dengan hobi hangout kami, dan di dunia maya orang-orang juga menikmati kebersamaan kami tanpa kami sadar secara perlahan hal ini lah yang menciptakan neraka kecil dalam rumah tangga kami.

-0-0-

“Eerghh... ah sakit...” secara perlahan aku sadar dari tidurku karena merasa ada beban berat di atasku dan bergerak agresif untuk ‘menyerangku’ saat membuka mata rupanya Ajun sedang menyetubuhi aku yang sedang tertidur. Aku mendorongnya, “Ngantuk ah.. jangan ganggu!” tapi dia justru menciumi leherku dengan ganas.

Aku mencoba mendorongnya lebih keras, aku tatap dia dingin, “Kamu makin lama makin keterlaluan ya. Kamu udah ga bisa lagi hargain aku, aku lagi tidur aja kamu serang, bukannya minta izin dulu, cumbu aku atau bikin aku nyaman. Tapi kamu sekarang Cuma mikirin kepuasan kamu sendiri, kamu pernah gak sih mikirin posisi aku juga?”

“Reza, kamu aja yang terlalu sensitif. Aku sengaja gak bangunin karena aku tau kamu capek kemaren pemotretan di luar kota seharian.” Jawabnya sambil turun dari badanku.

“Udah tau aku capek dan tidur kenapa kamu masih aja lakuin!”

Dia menggerang kesal dan meremas rambutnya, “Yaa karena aku suami kamu! Karena aku butuh asupan biologis dari pasangan aku! Cuma itu. Sadar gak sih kita udah gak main selama dua bulan! Kamu selalu nyari alasan buat gak layanin aku. Kenapa sih Rez? Apa yang salah sama kamu hah? Atau kamu udah ada yang lain Rez?”

Mataku berkaca-kaca, “Oh jadi kamu pikir aku orang kaya gitu Jun?”

“Udah ah capek berantem, kamu doang terlalu baperan. Aku tuh mau bikin simple aja tadi tapi masih aja kamu bikin ribet.” Ajun tidur membelakangiku dan menarik selimutnya.

Perlahan mataku basah, udah gak cocok... Aku dan dia memang sudah gak cocok. Capek, makan hati, bosan sama hubungan yang setiap hari Cuma bisa bikin sedih. Aku menatap punggung telanjangnya itu, entah apa yang salah dengan otakku? Aku bahkan sudah tidak bergairah lagi dengannya, mungkin karena pertengkaran-pertengkaran kami ini rasa cintanya jadi pudar?

Tapi menyerah juga ga mungkin kan, kami masih saling membutuhkan. Apa sebaiknya aku perbaiki keadaan? Umm ya, cobalah Reza. Ayolah belajar mengalah, bukannya kalian sudah bukan remaja labil lagi?

Aku mulai menyentuh punggung Ajun, aku merapatkan badan, kutempelkan wajahku pada tengkuknya, tanganku juga merayap perlahan melingkari pinggangnya, “Maaf... Ayo kita perbaiki Jun.. aku kangen kamu, aku kangen hubungan kita yang dulu.”

Secara perlahan dia membalikkan badan, dia mengecup dagu dan pipiku “Aku juga minta maaf sudah kekanakan sayang, aku mencintaimu.” Dia mendekapku dengan lembut, aku terpejam dan sangat menikmati kehangatannya, jantungku berdegup kencang seolah cintaku perlahan hidup kembali.

“Aku juga mencintaimu Jun...” aku mengecup dagunya yang kasar, kami tersenyum, mulai mengecup dan melepas membuat suara kecupan yang lucu, aku gemas dan melumat bibirnya, kami berpangutan, tangannya yang nakal itu meremas bokongku, aku tertawa pelan. Untuk sesaat kami terdiam dan saling tatap, “Aku baru sadar cintaku sebesar ini Jun...” desisku pelan sambil membenamkan wajahku di lehernya. Dia mengusap kepalaku dengan lembut, aku merasa sangat nyaman hingga tertidur kembali.

-0-00-

Kami berdua duduk di suatu cafe untuk menyantap makan siang. Aku hanya mengaduk-aduk spageti dengan tidak bergairah, tatapanku juga kosong karena aku melamun. Tadi pagi aku mengalami sesuatu yang tidak mengenakkan, terbangun oleh pesan dari nomer asing yang isinya ‘Selamat pagi sayang, wajahmu ketika tidur begitu indah.’ Awalnya kupikir Ajun, tapi sangat gak masuk akal dia yang tidur di sampingku malah mengirimiku pesan lagi pula dia masih tidur ngorok. Waktu dia bangun dan aku tanya perihal pesan, Ajun gak tau dan menanggapi santai dengan mengira itu orang iseng. Gak lama pesan itu datang lagi, isinya ‘Kado manis untuk Rezaku yang manis di hari senin ini. Aku letakkan di depan pintu.’

Aku langsung berlari ke depan pintu, benar saja ada kotak yang cukup besar dan ketika aku buka aku langsung berteriak histeris, “Aaaaarghhh Ajunnnn Junnn tolong aaargghh...” aku langsung terjatuh di lantai dan menangis histeris.

“Sayang ada apa!” Ajun memelukku erat.

“Jun... eergghhh itu Rasya... hikkh kucing kita Jun, kucing kita dibunuh!” Ajun pun shock melihat kucing putih persia kami berlimbahan darah di dalam kotak tadi, aku juga menjelaskan tentang sms-sms dan kado itu. Ajun langsung menyuruhku ganti kartu, dia berusaha menenangkanku sekuat mungkin dan mengubur Rasya di belakang rumah. Oh ya kami sudah bisa membeli rumah sendiri setelah menabung dua tahun karena pekerjaan kami yang macam-macam.

Kembali ke Cafe, Ajun menepuk lembut tanganku berusaha menenangkan aku yang tadinya melamun, “Ayo makan, baby kita perlu asupan nutrisi...” ucapnya bercanda sambil mengusap perutku, aku memerah.

Tapi Ajun kali ini bersikap menyebalkan, dia memotret makanan-makanan kami sebelum dimakan kemudian dia mengambil puluhan selfie, berusaha mengambil angle terbaik, sedangkan aku yang tidak bergairah hanya membuang muka ketika diajaknya berfoto. Ajun mulai mengopload foto tadi ke instagram sambil mengeja captionnya, “Lagi di Cafe kiss bersama istriku yang paling cantik, dia lagi galau jadi jangan diganggu hehe...” aku baru menyadari sindromnya ini menggelikan juga, dia bermain gadjet dan tersenyum sendiri di tempat umum begini, orang-orang pasti menilai aneh.

Kemudian mataku membulat saat menyadari sesuatu, “Hapus Jun hapus!”

Ajun mengerutkan kening, “Kenapa sih?”

“Kamu baru aja ngasih tau posisi kita, sama aja kamu ngundang penjahat itu datang kemari!!!”

Ajun menepuk bahuku lembut, “Udahlah sayang, jangan terlalu dipikirin. Itu Cuma orang iseng aja.”

“Iseng apanya! Dia udah bunuh Rasya!”

Ajun mencubit pipiku gemas, “Nanti aku beliin kucing baru ya...”

“Jun, Rasya itu udah kaya anak kita sendiri! Kita rawat waktu dia masih bayi banget sampai tua kaya sekarang dan orang itu udah bunuh anak kita! Bisa aja besok-besok dia ancam keselamatan kita. Jun...” rengekku.

Ajun mengusap kepalaku dengan lembut, “Yaudah aku edit captionnya demi kamu.”

“Fotonya juga dihapus! Dari backgroundnya nanti ketahuan posisi kita dimana.”

Ajun mendesah berat dan mengangguk-angguk. Aku sendiri bahkan sudah tidak memegang gadjet lagi selama berjam-jam, Ajun tubuhnya saja disini tapi jiwanya di dunia maya. Aku mulai bete dan menggebrak meja, tapi ada segerombolan gadis datang menimbrungi kami, para fujoshi yang kebetulan lewat segera meminta foto bareng, mungkin mereka sempat melihat postingan Ajun tadi. Aku awalnya menolak karena moodku yang jelek, tapi Ajun mencubitku, dia ga mau kalau sampai image kami dianggap sombong, dengan wajah datar terpaksa aku meladeni mereka.

“Kubilang apa Jun, terlalu aktif mempublikasikan posisi dan kegiatan kita itu bisa bikin orang tau keberadaan kita!”

“Come on, mereka itu Cuma fans..”

“Tapi kamu gak tau kan kalau nanti bisa aja ada penguntit jahat juga!”

Ajun menepuk wajahnya frustasi, “Gak baik kita keliatan berantem di tempat umum, cepat kamu habiskan makanannya dan kita bicarakan di mobil.”

“Aku ga nafsu makan.”

“Yaudah...” Ajun menyeret tanganku dengan kasar. Kami pun terduduk di mobil dalam keheningan.

“Kamu tuh bisa gak hilangin kebiasaan kamu yang terlalu sensitif dan over drama itu. Lama-lama ngegangu tau gak.” Protes Ajun.

“Apa, aku ngeganggu? Kamu gak ngaca hah! Kamu selfie selfie di tempat umum, cekikikan main hp sendirian sedangkan istri kamu di samping diabaikan. Gak waras tau gak Jun.”

“Haaah di zaman ini hal kaya gitu udah biasa! Kamu juga ga ngaca, kamu sendiri kan awalnya yang pecandu medsos!”

Aku meremas wajahku, kemudian menggenggam tangannya, “Iya Jun, aku akui aku salah. Kita sudahi ya... Kita coba kehidupan baru Jun, ya suamiku yang ganteng... please lepas medsosnya. Kita coba kehidupan baru, yang normal, yang lebih sehat. Kita coba lebih menutup privasy kita, berhenti mengumbarnya di dunia maya. Aku mau hidup normal kaya dulu Jun...”

Ajun hanya menggeleng dalam diam kemudian mengganti topik, “Heemmh... bukannya kita ada pemotretan majalah bentar lagi, ayok jalan...” dia menghidupkan mobilnya dan aku hanya bisa bernafas berat.

Kami terdiam sepanjang jalan, mendadak instingku bereaksi. Dengan cepat aku menoleh ke belakang, melirik tumpukan pakaian dan keperluan kami yang berantakan di kursi belakang jangan-jangan penguntit itu bersembunyi di balik tumpukan besar itu, “Jun penguntit itu gak masuk mobil kan?”

“Udahlah Reza, kamu kebanyakan halusinasi.”


“Jun!! Kamu harus dengerin aku sekali-kali!” Ajun pun terpaksa menghentikan mobil kemudian membongkar isi mobil.

“See? Gak ada apa-apa, ini Cuma pakaian, sepatu dan... eww ada pizza basi juga.”

Haah... apa benar ya kata Ajun kalau aku terlalu sensitif? Akhir-akhir ini paranoidku semakin parah. Aku merasa seolah dikuntit setiap saat, aku jadi suka menoleh secara mendadak mencoba memastikan keadaan, kadang kalau berbelanja sambil jalan kaki aku berlari ketakutan karena merasa dikuntit penjahat itu. Rumahku pun rasanya gak aman, sampai-sampai aku menutup semua lubang supaya penguntit itu gak punya kesempatan mengintip, semua jendela dan pintu aku kunci banyak-banyak.

Sialnya Ajun kadang dapat job sendirian dan meninggalkanku di rumah lebih sering, aku gak berani kemana-mana kalau sudah sendirian. Cuma menonton tv supaya rumah ini terlihat lebih ramai. Sepertinya kami memang perlu mengadopsi anak supaya rumah ini lebih hidup.

Ujung mataku langsung bergerak cepat saat mendengar suara berisik dari belakang rumah, jangan-jangan ada penyusup!!!

Dengan cepat aku mengambil pedang yang menjadi hiasan di dinding. Aku berjalan menjinjit ke arah belakang, suara dobrakan itu membuatku bergetar ketakutan. Ajun aku takut... cepat pulang!!!
Aku bersembunyi di samping kulkas, terdengar suara pintu rusak dan berhasil dibobol, astaga! Bagaimana ini?! Aku harus menelepon Ajun! Tapi aku lagi gak bawa HP, telpon rumah juga ada di depan sana kalau aku berjalan kesana penguntit itu bisa menyadari gerakanku. Gak, aku bersembunyi saja dulu hingga keadaan memungkinkan. Terdengar suara pintu terbuka, langkah kaki yang mendekat.. aku menangis deras sambil menggigit tanganku agar tidak mengeluarkan suara.

Penjahat itu semakin dekat kearahku, rasanya nafasku mau habis... begitu dia ada di depanku tanpa ampun aku menebas-nebasnya, memberikan tusukan dan serangan hingga orang itu tersungkur, saking takutnya aku bahkan tidak bisa melihat orang itu, aku berlari nyaris terpeleset karena lantai yang banjir darah, dia sudah tidak bergerak pasti mati. Waktunya aku menghubungi Ajun, dengan tangan bergetar aku memencet nomor teleponnya, kemudian suara dering keras itu terdengar di kantong baju orang yang aku bunuh tadi.

TAMAT

Adakah yang bisa menyimpulkan  isi cerita?

No comments:

Post a Comment