Wednesday, February 24, 2016

You Belong with Me (Part 3)

You Belong with Me (Part 3)

@@@@

Aku duduk kaku di sisi ranjang kumuh di suatu bangunan tua tak terawat. Denis melepaskan jaketnya perlahan sambil melirikku dengan tatapan nakal. Aku hanya terdiam dengan hati tak tenang.


“Jangan kaku begitu sayang, rileks saja…” ucapnya saat duduk di sampingku dan mengusap pinggangku. Aku semakin merinding.

Sesungguhnya aku berusaha menjadi anak baik selama ini, jangankan melakukan sex, mendekati hal mesum saja tak pernah aku lakukan.

“Lo takut ya?” tanya Denis sambil memelukku dari samping.

Aku mengangguk, “Ini yang pertama buatku.”

“Hahaha… asik dong, gue yang merawanin lo…” dengan bersemangat dia melucuti semua pakaiannya kemudian pakaianku.

Dia merebahkan badanku di kasur kemudian menindihiku, aku semakin berdebar. Aku juga tidak mengerti dengan debaran ini, yang pasti aku ingin bagian ini andai bisa aku skip.

Dia tersenyum licik kemudian mendekatkan wajahnya, melumat bibirku dengan ganas, aku meletakkan tanganku di dadanya untuk menahannya. Tangannya mengerayangi seluruh tubuhku, aku benar-benar geli. Aku belum bisa menikmati permainannya yang hanya didasari nafsu birahi, dia menyerangku dengan ganas yang aku rasakan hanya ketakutan dan ingin semua ini berakhir kemudian aku dapatkan uangnya.

Dia menciumi leher dan dadaku sambil menggesekkan alat vital kami masing-masing.

“Lama banget sih punya lo bangun, apa gue kurang hot hah?” tanyanya nyaris membentak.

Aku menciut, bagaimana bisa aku menikmati ketakutanku sendiri. Dia tidak bisa memahamiku.

Dia kembali menciumi tubuhku dan mengocok penisku dengan cepat, aku menggelinjang dan mendesah kuat, “A-aaaaakh… oooohhh…” kuremas rambutnya.

“Lo manis juga kalau horny begini haha… show me more…” dia menghisap-hisap
dadaku dengan tangan yang menggerayang di sekitar selangkangan dan perutku.

Dan aku sangat terkejut saat ada benda padat melesak masuk di dalam lubangku, “De-Denis! Jangan aaah… sakitt aaaaarghhh….” Aku meremas bahunya.

“Hahaha… tenang, Dri… entar juga enakan…”

Tanpa memperdulikanku Denis menggerakkan pinggulnya dengan cepat, rasanya terbakar dan nyeri. Aku terus menggerang sepanjang sore itu. Keringat di tubuh kami berkucuran, terlihat sekali rasa puas dari wajahnya saat cairan putih itu membasahi dalam tubuhku. Dia pun mencabut kejantanannya itu.

“Lo luar biasa ya Dri haha… puas banget gue…”

Aku hanya meringkuk di kasur, memiringkan tubuhku menghadap ke arah lain.

“Eh guys… santab tuh, masih hangat haha…” ucap Denis di depan pintu. Aku sangat terkejut karena empat temannya tadi masuk juga kemudian mereka melepaskan pakaian.

Mereka melakukan hal yang lebih menyakitkan dibandingkan apa yang Denis lakukan sebelumnya hingga kesadaranku setengah menghilang.

Tubuhku penuh dengan cairan putih setelahnya bahkan aku menemukan beberapa bercak darah di kasur, aku bergetar ketakutan. Mereka mentertawakanku. Aku benar-benar merasa hina. Kuharap semua rasa sakit itu berakhir.

“De-Denis…” lirihku pilu.

Denis menyalakan putung rokoknya kemudian menghembuskan asapnya ke wajahku, aku terbatuk-batuk dan dia kembali tertawa.

“Boleh aku ambil uangnya sekarang?” tanyaku.

“Hahaha… uang apaan sih…”

Mataku terbelalak, aku mengguncang bahunya dengan keras. “Lo mainin gue Denis! Adek gue sekarat di rumah sakit… dan gue butuh uang itu!!!” teriakku penuh emosi.

“Sayang, tenang dong.. lo jadi gak cakep lagi kalau emosi begitu…”

Denis mendekatkan wajahnya dan melumat bibirku, tubuhku bergetar penuh emosi dan menggigit bibirnya keras, “Aaaarghh… lo cari mati hah?!!!” Denis menonjokku dengan keras, aku yang emosi juga membalasnya sekuat tenaga, aku duduki perutnya dan menghantam wajah tampannya itu berkali-kali.

“Woi tolongin gue napa!” teriak Denis pada teman-temannya.

Teman-temannya menarik tubuhku ke belakang dan mengeroyokku aku Cuma terkapar merasakan hantaman demi hantaman yang menerjangku. Wajah adikku yang kesakitan kembali muncul dalam benakku, aku kesal dan benci dengan mereka yang mempermainkanku.

Aku bangkit dan menghajar mereka dengan membabi buta, meskipun aku kalah jumlah dan kembali tersungkur.

Mereka semakin sadis menghantamku saat ada yang akan melempar kursi ke tubuku Denis berteriak, “Udah udah.. jangan dibikin mati, gak asik lagi entar kalau mati gak ada bahan permainan… cabut yok…” Denis menatapku dengan tatapan aneh seolah dia matanya kasihan denganku tapi dia menutupinya dan tetap bertingkah jahat.

“Gue akan jeblosin lo semua ke penjara…” rintihku.

Denis tertawa kencang, “Hahaha… ini Indonesia bro, dimana hukum memihak pada siapa yg memiliki uang. Lo kira lo bisa apa? Gak usah memperpanjang masalah kalau gak mau makin runyam, gue bisa aja tuntut lo balik karena pencemaran nama baik. Temen-teme gue saksinya. Lo bisa apa? Haha…”

Aku meninju lantai dengan geram, dia benar. Aarghh.. aku tak punya jalan lagi. Bagaimana keadaan adek sekarang. Dek, maafin kakak gak bisa jaga adek…

Tubuhku semakin lemah, darah berkucuran di pelipisku. Rasanya kesadaranku nyaris hilang, rasa nyeri di seluruh tubuh bagaikan dikuliti hidup-hidup puluhan kali.

Aku merangkak meraih pakaianku, aku juga sempat terisak karena tak berhasil mendapatkan uangnya setelah aku menghinakan diriku sendiri.

Dengan jalan pincang dan sempoyongan aku berusaha bangkit.

@@@

“Tak ada kah keringanan dok? Dok tolong operasi adik saya, saya janji nanti akan bayar semuanya!”

“Maaf nak.”

Aku menatap lesu adikku di balik pintu, tubuhnya penuh dengan alat-alat penopang kehidupan. Aku mendengar rintihan dari bibir mungilnya. Kuterjang pintu dan berdiri di sisi ranjang sambil menggenggam tangannya.

“Kakak…” lirihnya dengan tatapan sayu.

Aku mengambil kursi dan duduk disampingnya, kukecup jari-jari mungilnya dan tak mampu menahan tangis lagi.

“Wajah kakak kenapa berdarah…” tangannya mengusap wajahku.

“Kakak gak papa kok dek, perasaan adek sendiri bagaimana sekarang?”

“Aku senang kakak ada di samping aku.. kakak jangan pergi lama-lama lagi, aku kangen kakak…”

“Iya dek, kakak akan selalu ada di samping adek. Ayo, jagoan kakak harus kuat dan kembali main sama kakak ya?”

Dia menggeleng pelan. Aku semakin resah, tangannya yang menyentuh pipiku juga sangat dingin.

“Aku sayang kakak…” tangan itu semakin lemah dan terjatuh begitu saja. Tatapanku kosong, kulirik elektrokardiograf yang menunjukkan garis lurus. Detak jantungnya berhenti, aku langsung berteriak, “Dokter! Suster!”

Tak lama kemudian datanglah dokter dan beberapa suster, aku menengok dari balik pintu melihat adikku jantungnya dikejutkan dengan peralatan medis.

Namun terlihat sang dokter menggeleng lemas dan menutup seluruh tubuh adikku dengan kain putih.

Saat dokter keluar untuk memberitahukan keadaan, aku langsung jatuh berlutut. Tangisku pecah, tubuhku bergetar tak mampu menopang emosi aku menangis dengan menutupi wajahku menggunakan kedua tangan.

Gagal lah aku menjadi seorang pria maupun kakak, ketika aku tak mampu melindungi dan memperjuangkan harta terakhirku…

Lenyap sudah, tawa riang maupun rengekan manjanya…

Aku bahkan tak akan mampu menatap wajah polosnya yang kini telah tak bernyawa…

Semua kenangan yang terekam seolah kembali tersetel dalam memoriku membuat lukaku semakin menganga melihat kenyataan bahwa malaikat kecilku, jagoanku, harta terakhirku kini pulang kesisi-Nya dan meninggalkanku selamanya

‪#‎END‬ FLASHBACK#

TBC

koment ya nanti di tag next part
 

No comments:

Post a Comment