Wednesday, February 24, 2016

You Belong with Me (part 2)

You Belong with Me (part 2)

by: Yanz

-Adrian POV-

“Dasar Denis licik… grrrr geram banget aku kak… kok ada ya manusia sekejam dia?” teriak Icha geram sambil menggosok-gosok
kepalaku brutal dengan handuk.

“Oi oi Cha, ingat tuh kepala orang..” tegur Daniel ketus.

“Eh… maaf Kak Adrian, aku terbawa emosi. Hmm orang kaya Denis harus dikasih pelajaran…” ucap Icha sambil melirik Daniel. Niel hanya memandang lurus dengan tangan yang mengusap dagu.

‪#‎FLACHBACK‬#

“Satu, dua, tiga… tiup lilinnya dek..” ucapku dan kami pun meniup lilin dengan angka 6 itu secara bersamaan.

Yogi adalah adikku satu-satunya dan juga satu-satunya harta yang aku punya. Di kontrakan sederhana ini kami merayakan ulang tahunnya yang ke-enam dengan riang gembira. Orang tua kami meninggal saat kecelakaan kereta api, dua tahun lalu. Sedangkan keluargaku yang lain mungkin menanamkan individualisme dalam mindset hidup mereka sehingga mereka tidak perduli dengan kami berdua.

Tapi tanpa mereka pun aku mampu menopang hidup kami berdua hingga menjadi seorang mahasiswa di fakultas kedokteran sekarang.

“Ayo buka kadonya…” ucapku sambil menangkup kedua pipi tembem Yogi. Dengan senyum merekah dia mengoyak bungkus kado itu. Di dalamnya sebuah helicopter mainan yang sudah lama dia dambakan.

“Aaa… Kakak! Ini kan yang waktu itu ada di toko…” ucapnya dengan mata berkaca-kaca.

“Iya sayang, kakak kerja keras buat beli mainan ini. Jadi kamu rawat baik-baik oki doki?” ucapku girang. Dia mengangguk semangat, air matanya mengalir deras dan memelukku dengan erat.

“Aku sayang kakak… kakak segalanya buat aku…” aku bisa merasakan basah di bahuku. Kurenggangkan pelukan, mengecup dahi, hidung dan kedua pipinya.

“Kakak juga sayang kamu dek, makanya kamu harus selalu jaga kesehatan dan jadi anak pinter buat kakak ya?” aku mengusap kepalanya lembut.

“Hu’um… iya kelak aku akan jadi pilot hebat dan mengajak kakak terbang keliling dunia. Ingat janjiku itu kak!”

Aku hanya tersenyum, “Kak bagaimana cara mainnya? Ayo ajari aku!” tanya Yogi sambil menyodorkan helikopternya dan juga remot control padaku.

Aku mencoba mengutak-atik remotnya hingga helicopter tadi mulai memutar baling-balingnya dan terbang di udara. Yogi sangat terpana, dengan bersemangat dia mengejar heli tersebut. Aku tertawa-tawa melihat tingkah polosnya, terus aku goda dia dengan menerbangkan heli tersebut lebih jauh. Yogi berlari makin kencang dan gesit namun tiba-tiba dia roboh dengan memegang dadanya.

Aku shock, langsung melempar remot control entah kemana. Kupangku tubuh mungil adikku itu, “Dek… dek… kau kenapa?” tanyaku nyaris berteriak.

Yogi meringis kesakitan dan meremas dadanya, aku baru ingat, Yogi tidak boleh melakukan aktivitas melelahkan seperti berlari karena jantungnya yang bermasalah bawaan dari lahir.

Aku panik, betapa bodohnya aku gagal menjaga adikku sendiri. Aku menggendong adikku di punggung dan mengikat tubuhnya dengan kain agar menempel denganku. Langsung kunyalakan motor dengan laju.

“Dek, kamu masih bangun dek…’’ tanyaku panik.

“Kak… sakit dada Yogi…”

“Tenang dek, Kakak pasti jaga kamu. Bertahan dek, kakak mohon…”

“Uh… Kak, Yogi gak mau pergi. Yogi masih mau nemenin kakak…”

“Iya dek, kamu pasti kuat… adek kaka pasti kuat!”

“Tapi sakit banget, Yogi gak tahan kak…. Iikhh…”

“Adek harus kuat, nanti kakak janji bakal ajak adek lagi ke taman bermain, jadi adek harus kuat. Janji sama kakak dek!

Aku berusaha mengajak Yogi mengobrol sepanjang jalan agar dia tetap terjaga, tangannya yang lemah meraih leherku dan memeluk pelan. Terdengar jelas isak tangisnya di sisi kupingku. Aku benar-benar tidak tahan harus menyaksikan hartaku satu-satunya kesakitan begini, seolah aku bisa merasakan apa yang dia rasakan. Tenggorokanku tercekat, aku dihantui prasangka buruk akan masa depan.

Aku tak akan mampu merasakan sakitnya kehilangan untuk kedua kali. Tuhan, lindungi adikku. Dia satu-satunya yang aku punya, sinar dalam hidupku bahkan aku lebih menyayanginya dibanding diriku sendiri.

Namun aku dibikin semakin gusar begitu sampai di rumah sakit. Mereka memaksaku melakukan pembayaran terlebih dahulu di saat segenting ini sedangkan aku tak membawa uang sepeser pun, bahkan simpananku di rumah pun tak seberapa. Kejadian tersebut terus berulang di rumah sakit yang lainnya hingga nyaris semua rumah sakit di kota itu aku datangi tak ada juga yang mau membantu.

Aku pun hanya berharap pada rumah sakit terakhir di kota ini, namun kembali melakukan hal yang sama, aku geram, aku berteriak, “Dimana hati nurani kalian! Tak ada kah yang benar-benar manusia disini? Adikku sekarat dan tak punya banyak waktu, manusiawi lah sedikit. Aku tidak tahu lagi harus kemana, jika kalian menolak kami maka nyawa adikku akan melayang…”

Aku berlutut di kerumunan banyak orang, suster maupun dokter melihatku menangis lirih. Lantai keramik itu terus dihujani air mataku yang sangat putus asa.

“Tidak adakah yang punya hati disini!!!” teriakku gusar dan menarik tubuh adikku yang di belakang hingga mampu kupangku di depan dada, aku menatap wajahnya yang sangat kesakitan, nafasnya tersengal-sengal. Aku memeluknya erat, “Maaf dek, kakak gak bisa jagain adek dengan baik…”

Aku tak perduli betapa bodohnya wajahku sekarang menangis bagaikan anak kecil, aku sangat membutuhkan belas kasihan, aku tak perduli lagi dengan harga diriku. Aku hanya butuh bantuan. Tuhan, tak ada kah jalan untuk kami?

Dari belakang datang seorang dokter yang tinggi besar dan berkaca mata, “Kenapa hanya menonton, bawa anak itu masuk sekarang juga!” tegas dokter tersebut. Aku mendongak, tersenyum penuh harap dan memeluk kaki dokter itu penuh terimakasih.

“Tapi rumah sakit ini bukanlah milik saya, administrasi tetap harus dilaksanakan paling lambat besok.”

“Iya dok, saya pasti akan mengusahakannya!”

@@@

Lama aku menunggu di depan ruang IGD hingga akhirnya muncullah dokter tadi, “Bagaimana kondisi adik saya dok?” tanyaku penuh harap.

“Kondisinya tidak terlalu baik, harus segera dilakukan operasi transpalasi jantung secepat mungkin.”

“Baiklah dok, lakukan yang terbaik untuk adik saya!”

“Tapi operasi tersebut tidak murah dan harus dilakukan proses administrasi terlebih dahulu baru bisa dilakukan operasi, maaf ini sudah aturan dari rumah sakit.”

Aku mengepal tanganku dengan kuat, “Aku akan berusaha membawa uang secepat mungkin!” aku langsung berlari secepat mungkin. Aku terus berfikir bagaimana caranya agar aku mampu mendapatkan banyak uang.

Sepanjang jalan bersama motorku, aku terus berfikir pekerjaan apa lagi yang cepat mendapatkan uang? Aku datang ke tempat kerjaku di toko elektronik, berniat ingin berhutang dan menjelaskan keadaanku namun bukannya bantuan yang aku dapat, aku malah dipecat karena terlambat.

Aku semakin gelisah, bagaimana bisa mendapat pekerjaan baru dengan gajih mahal dalam sehari? Aku melihat bus-bus yang berlalu lalang hingga muncul lah ide.

Aku menjadi kenek bus seharian, dengan keringat bercucuran, badan bau matahari dan dekil namun yang aku dapatkan tak seberapa. Aku yang duduk di pinggir jalan menunduk pasrah, apa lagi yang harus kulakukan?

Brrrmmmm brrrrmmm..

Terdengar suara berisik dari banyak motor, mereka menghampiriku. Genk Denis.

“Hoi lo rupanya Adrian. Ngapain lo nongrong sendirian disini, mending ikut kita?” ucap Denis dengan nada tengil.

Aku hanya diam, terus berfikir. Haruskah aku menceritakan keadaanku pada Denis? Bukankah dia anak orang kaya, hmm mungkin dia bisa membantuku.

“Aku butuh banyak uang Denis, untuk operasi adikku. Bisakah membantuku?” ucapku dengan wajah memelas.

Denis tersenyum licik dan melirik kawan-kawannya. Mereka tertawa terbahak-bahak, aku tambah bingung. Bodoh, mereka kan membenciku, tentu mereka senang melihatku sengsara.

“Hmm… gue bisa aja bantu lo…” ucap Denis sambil duduk di sampingku kemudian merangkulku.

“Benarkah?” aku menatap penuh harap.

“Yoi… tapi lo harus layani gue dulu?” aku semakin bingung, melayani bagaimana?

“Melayani?” ulangku.

“Hmm…” gumam Denis, dia menjilat kupingku dan meraba pahaku. Mataku terbelalak. Aku menjaga jarak dengan cepat.

“Bagaimana sih lo, Adrian? Katanya butuh uang?” tanyanya dengan senyum nakal. Teman-temannya tertawa mengejek.

Aku berfikir keras… Denis menjentikkan jari, salah satu temannya mengeluarkan amplop besar yang ternyata berisi banyak uang, Denis mengibaskan uang tersebut. Aku pasrah, kurasa ini satu-satunya jalan instan untuk mendapatkan banyak uang.

Maafkan kakak dek, ini semua untuk adek…

TBC

No comments:

Post a Comment